Selasa, 27 Mei 2008

Karl Mark

KARL MARX

“bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum,

memiliki tempat berteduh, dan berpakaian,

sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni, dan agama”

Timbulnya agama disebabkan oleh sebuah aspirasi, sebuah cita-cita. Dalam bentuk sebuah aspirasi manusia dalam batinnya mengandung suatu cita-cita kesempurnaan dan kebahagiaan, yakni kebijaksanaan, cinta kasih tanpa pamrih, perasaan keadilan. Agama itu hanya merupakan perwujudan cita-cita itu: “ Illusi religius terdiri dari membuat suatu obyek yang bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya”. Atribut-atribut ilahi merupakan perwujudan dari predikat-predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, melainkan sesuai dengan umat manusia jika dilihat dalam keseluruhannya : Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak demikian Ludwiq Feuerbach dalam bukunya Das Wesen des Christentums (Hakekat Agama Kristen, 1841)[1].

Berawal dari tesis Hegel tentang materi dan pikiran yang menyatakan bahwa hal-hal mental-ide, konsep adalah fundamental bagi dunia, sementara benda-benda materi selalu sekunder; benda-benda itu adalah ungkapan fisik dari roh universal yang dasar, atau ide yang absolut[2].

Marx menentang tesis itu dengan menyatakan bahwa materi adalah yang utama, sementara pikiran-wilayah konsep dan ide yang begitu penting bagi para pemikir-sebenarnya hanya refleksi. Prinsip umum yang fundamental tentang dunia adalah riil, lebih dapat ditemukan dalam kekuatan materi dari pada konsep mental; Secara khusus, prinsip itu mendasari dua thema yang menjadi inti pewrkembangan pemikirannya: (1) keyakinan bahwa realiras ekonomi menentukan perilaku manusia dan (2) sejarah manusia adalah cerita perjuangan kelas, konflik terus menerus di setiap masyarakat antara orang-orang yang memiliki benda (orang kaya) dengan para pekerja (orang miskin). Secara fundamental Marx menyatakan bahwa sejak kemunculan pertama di dunia, makhluk manusia tidak dimotivasi oleh ide-ide besar, tetapi oleh kepentingan materi yang sangat dasar, kebutuhan-kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup. Ini adalah fakta pertama dalam pendangan materialis tentang dunia. Setiap orang membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, yang lain, seperti dorongan seks, menyusul. Reproduksi kemudian membentuk keluarga dan komunitas, yang masih menciptakan kebutuhan dan tuntutan materi yang lain. Semua ini hanya dapat dipenuhi dengan mengambangkan apa yang disebut sebagai suatu cara produksi[3].

Pada tahun 1848 Marx dan Engels menulis buku “communist Manifesto” yang memposisikan material, perjuangan kelas, komunisme, dan revolusi melalui cara kesadaran kolektif. Lebih tegas Marx menulis : Sampai sekarang ini, sejarah semua masyarakat yang ada adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dengan budak, bangsawan dengan rakyat jelata, tuan tanah dengan pengelola tanah, ketua serikat pekerja dengan teman sekerja, singkatnya, antara penindas dengan yang ditindas selalu dalam pertentangan satu sama lain, melakukan pertarungan yang, tiada putusnya, terkadang terbuka, terkadang tersembunyi, suatu pertarungan yang setiap waktu bisa berakhir, baik dalam suatu rekonstitusi masyarakat revolusioner secara bebas, maupun dalam runtuhnya secara umum kelas-kelas yang bersaing.

Marx membagi tahapan perkembangan masyarakat sebagai berikut : Pertama masyarakat tradisional (komunisme primitif) bentuk masyarakat yang paling awal dan sederhana, dimana untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan hidup harus dihasilkan dengan cara berburu dan mengumpulkan makan biji-bijian, dengan memancing, semua orang terlibat dalam aktivitas melalui cara-cara yang berbeda, lambat laun masuk pada suatu pembagian kerja. Manusia belum menetap, hak milik pribadi belum dikenal dan semua usaha untuk memenuhi kebutuhan bersama anggota kelompok atau suku.

Kedua, masyarakat feodal, setelah ada gagasan tentang kepemilikan pribadi diperkenalkan, mereka mulai saling berinteraksi, hanya dengan menukar apa yang mereka buat, yakni menjual produksi kerja mereka. Tak lama kemudian dengan ketrampilan, bakat, kajahatan maupun nasib baik, ada yang mendapatkan harta pribadi yang lebih banyak dan lebih baik, sementara yang lain betul-betul tak dapat apa-apa. Selain itu ketika cara produksi berubah dari berburu dan mengumpulkan bahan makanan ke menanam biji-bijian, mereka yang kebetulan memiliki tanah mendapatkan keuntungan yang besar. Mereka tidak hanya memiliki produksi tetapi juga alat produksi karena yang lain tidak memilikinya, maka pemilik tanah adalah majikan, orang lain menjadi tanggungannya, pembantu, bahkan budak mereka. Pada jaman masyarakat ini terjadi eksploitasi oleh tuan tanah atau pemilik modal.

Ketiga; masyarakat kapitalisme, adalah orang yang memiliki tanah serta harta benda dalam tahap perkembangan kapitalisme modern memperkenalkan suatu cara produksi baru. Dengan memperkenalkan aktivitas komersial dan motif keuntungan dalam skala besar, penghasilan yang besar itu bagi sedikit orang (kaum borjuis) pemilik dan manajer perusahaan. Sementara para pekerja (proletariat) tidak memiliki apa-apa, mereka harus menjual tenaga kerja keseharian mereka kepada para pemilik manajer untuk mendapatkan upah guna sekedar dapat hidup. Keadaan ini diperburuk setelah kaum borjuis menggunakan pabrik (mesin-mesin) untuk memproduksi barang-barang dalam jumlah yang besar yang menggantikan tenaga manusi, yang membawa keuntungan bagi kaum pemiliknya. Untuk memperoleh itu semua kaum proletar harus menemukan jalan revolusi untuk menumbangkan seluruh tatanan social ekonomi yang menindas mereka. Sama halnya dengan masyarakat feodalisme, dimana terjadi eksploitasi oleh pemilik tanah atau pemilik modal terhadap kaum buruh atau proletar. Kapitalisme bukanya membawa masyarakat sejahtera, melainkan terjerumus kedalam feodalisme. Dengan demikian terciptalah krisis dasar manusia pemisahan kelas oleh kekuasaan dan kekayaan dan dengan itu muncul konflik social.

Keempat; masyarakat sosialis, untuk menghapus eksploitasi oleh kaum borjuis, maka diperlukan revolusi social melalui pengorganisasian dan penyadaran buruh untuk bersatu menggulingkan kapitalisme. Penggulingan itu dilakukan melalui pembentukan dictator ploretariat dalam rangka menuju masyarakat sosialis, yaitu suatu masyarakat dimana distribusi sumber-sumber ekonomi diatur sepenuhnya oleh negara.

Kelima, masyarakat komunis modern, system sosialis ini hanya merupakan transisi, karena masih menyembunyikan konflik kepentingan antara penguasa dan rakyat. Negara harus dihapus dengan system komunisnya karena dalam system itu tidak ada lagi kelas (classless society) dan cara produksi berada dibawah semboyan sama rasa dan sama rata, begitupun juga para perempuan sebgai “milik bersama dan hak milik bersama”[4]. Pada saat kaum proletar terbebas dari eksploitasi akan muncul masyarakat komunis modern yang lebih bersifat humanis.

B. POKOK-POKOK PIKIRAN MARX

1. Konsep Alienasi

Hegel membicarakan tentang realitas mutlak sebagai “roh yang absolut” atau “ide yang absolut” apa yang disebut oleh orang beragama dengan “Tuhan”. Yang absolut ini adalah suatu wujut yang terus menerus berjuang untuk lebih mengetahui akan dirinya. Ia menemukan hal itu dengan menuangkan dirinya kedalam bentuk-bentuk dan peristiwa material. Namun karena yang actual tidak pernah sepenuhnya menangkap yang ideal, maka bentuk material selalu tidak memadai atau “alien” asing, bagi roh. Setiap peristiwa yang terjadi dalam dunia material disebut “tesis” roh mengadakan peristiwa, sebaliknya “antitesis” yang mencoba untuk mengoreksinya, maka ketegangan diantara keduanya dipecahkan oleh peristiwa ketiga “sintesis” yang mencampurkan elemen keduanya. Hanya sekedar untuk menjadi tesis baru bagi rangkaian oposisi yang resolusi yang lain.

Semua yang terjadi di dunis muncul dalam bentuk rangkaian pergantian yang besar yang disebut “dialektika” memberi dan mengambil roh dalam alam dan sejarah. Di dalamnya yang absolut mengalienasikan dirinya secara tak memuaskan, dalam suatu bentuk material, lalu merespon yang lain, dan akirnya mengkombinasikan dan mengunggulinya keduanya dengan yang lain. Misalnya, kebudayaan lama di sebut suatu tesis, setelah beberapa waktu menimbulkan suatu kebudayaan baru yang berlawanan sebagai antitesisnya. Lambat laun keduanya lalu bergabung, membuat suatu peradaban baru dan lebih kaya dan tinggi yang disebut dengan sintesis.

Marx menolak idealisme Hegel, tetapi tidak menolak konsep tentang alienasi maupun ide bahwa sejarah berjalan terus, melalui suatu proses konflik. Benda adalah ciptaan manusia; manusia yang bekerja, actual, konkrit, yang menciptakan alienasi, mereka sendiri, dan secara tepat dengan menghubungkan pada yang lain termasuk wilayah ide, benda-benda yang pantas riil dan sumber ketidakbahagiaan manusia yang sebenarnya. Alienasi, adalah mengeluarkan dari dirinya apa yang ada di dalam dirinya dan merupakan esensinya; dan lalu mengangap yang dikeluarkan itu sebagai sesuatu yang berlainan dengan hakekat tersebut, sebagai suatu realitas yang sekaligus bersifat asing dan melawannya.

lienasi manusia memiliki empat bentuk utama: manusia diasingkan dari produ hasil pekerjaannya, kegiatan produksi, sifat sosialnya sendiri, dan rekan-rekannya[5], Pertama, para buruh dalam kapitalisme industri diasingkan dari produksinya yang “ada di luar dirinya, secara mandiri, sebagai sesuatu yang asing bagi dirinya…kehidupan yang diberikan pada obyek yang menentang dirinya sebagai sesuatu yang antagonis”. Produksi bukanlah miliknya namun dimanfaatkan oleh orang asinh sebagai milik pribadinya. Dan semakin banyak yang dihasilkan oleh buruh maka semakin berkurang nila produktivitasnya. Buruh menjadi suatu komoditas yang makin lebih murah sehingga semakin murah pula komoditas yang dia ciptakan. Upah para buruh hanya cukup untuk menopang dirinya dengan apa yang dibutuhkan untuk tetap bekerja.

Kedua, system kapitalis mengasingkan menusia dari aktivitasnya. Aktivitasnya tidak ditentukan oleh kepentingan pribadi atau aktivitasnya, namun merupakan sesuatu yang dikumpulkan untuk tetap hidup. “Pekerjaannya…merupakan buruh paksa”. Hasilnya, menurut Marx, “Buruh hanya merasakan dirinya di luar pekerjaannya, dan dalam pekerjaannya dia merasa di luar dirinya.” Semakin banyak dia bekerja semakin berkuranglah dia. Dia akhirnya hanya merasa tinggal di rumah untuk makan, minum dan berhubungan seksualitas. Persis tabiat binatang.

Ketiga, masyarakat mengasingkan buruh dari kualitas penting manusia. Tidak seperti binatang, menurut Marx, yang memproduksi hanya untuk keperluan sementara, manusia menghasilkan pengetahuan dan budaya (seperti seni, ilmu, teknologi) untuk semua ras manusia. Manusia menjadi makhluk universal untuk tujuan universal. Namun seistem kapitalis mereduksi kepentingannya manusia itu ke dalam tingkat hewan buruh, sebagai suatu alat yang semata-mata untuk memuaskan kebutuhan fisik pribadinya.

Keempat, alienasi adalah “pemisahan manusia dari manusia”. Temannya merupakan seoarng asing yang bersaing dengannya sebagai seorang buruh dan sebagai hasil pekerjaan mereka. Lebih-lebih, keduanya dipisahkan dari “sifat esensial manusia”.

Dalam analisis Marx, proses produksi material manusia berisis tiga komponen atau factor. Pertama kondisi produksi, bahwa kondisi produksi mempengaruhi produksi manusia; iklim yang ada, lokasi fisik geografis masyarakat, pasokan barang mentah, dan populasi total. Kedua adalah kekuatan produksi, yaitu pembagian tipe-tipe kemampuan, peralatan dan teknologi sebagaimana jenis dan ukuran pasokan buruh yang tersedia di amsyarakat. Ketiga hubungan produksi yaitu hubungan hak milik dalam masyarakat, hubungan social sesuai apa yang telah diatur masyarakat tentang kondisi dan kekuatan produksi dan menyalurkan hasil produksi kepada anggota masyarakat.

Jika kita benar-benar ingin memahami alienasi, kita harus melihat betapa pentingnya fakta kerja ekonomi setiap hari bagi setiap orang yang hidup. Kerja adalah aktifitas bebas manusia melawan alam. Kerja harus bersifat karya, kreatif, bervariasi dan memuaskan-suatu ekspresi seluruh kepribadian. Dalam kenyataan telah menjadi sesuatu yang terpisah, sesuatu yang asing bagi diri kita, sebagian karena gagasan yang jahat tentang kepemilikan pribadi. Alienasi dimulai setelah manusia menganggap produksi dan kerja sebagai suatu benda yang terlepas, sebagai sesuatu yang lain dari pada ungkapan dasar kepribadian demi kepentingan sebuah komunitas, sejak saat itu, manusia teralienasi dari benda produksinya. Hasil produksi yang dapat manusia jual dan orang lain dapat membelinya. Manusia juga teralienasi dari dirinya sendiri, bukannya mengungkapkan bakatnya yang unnik, manusia membuat suatu produk hanya membuat suatu komuditas, sesuatu yang dapat ia gunakan untuk barter atau membeli komuditas. Hanya berurusan dengan suatu produksi, manusia tak memiliki sesuatu yang penuh arti menusiawi untuk mewujutkan kerjanya. Dan akhirnya manusia teralienasi dari individu yang lain karena kepribadianya, hal yang pada dasarnya menuai berkenaan denganya tidak lagi mengikutsertakan kepunyaan yang lain. Manusia hanya memperdagangkan benda yang mereka ciptakan. Dalam bentuk alienasi yang banyak ini, manusia menemukan penderitaan riil dari kondisi manusia. Dan hanya setelah hal itu diatasi, maka kebahagiaan manusia yang riil pada akhirnya dapat diperoleh kembali.

2. Konsep Eksploitasi dan Nilai Lebih

Konsep nilai lebih, menjelaskan keuntungan kaum kapitalis dan eksploitasi buruh. Marx mendefinisikan nilai lebih sebagai perbedaan antara nilai upah yang diterima buruh dan nilai dari apa yang mereka hasilkan. Artinya, perbedaan antara upah yang harus dibayar kaum kepitalis kepada buruh dan produksi hasil kerja kaum buruh yang bisa dijual kaum kapitalis untuk keuntungan kaum kapitalis.

Teori ekploitasi, kelas buruh dipaksa diperdagangkan di pasar tenaga kerja untuk nilai upah yang berlaku; kaum kapitalis mengeksploitasi buruh dengan menjual produk yang dihasilkan buruh dan bayaran yang diterimanya melebihi upah yang dibayarkannya pada buruh. Kapitalisme merupkan sebuah system eksploitasi. Kaum kapitalis mengambil keuntungan secara besar-besaran dengan mengupah buruh secara rata-rata. Namun teori eksploitasi Marx dikritik secara serius. Marx dianggap melupakan teori tentang eksploitasi dari persoalan biaya yang dikeluarkan kaum kapitalis untuk menghasilkan komoditas, hubungan antara biaya-biaya tersebut dan biaya buruh, serta upah yang harus dibayarkan pada buruh untuk terus hidup.

Bahwa nilai sesuatu yang dibuat atau ingin aku beli ditentukan oleh kerja yang dibutUhkan. Jika membutuhkan waktu sehari untuk membuat sepasang sepatu dan dua puluh hari untuk membuat sebuah arloji yang berharga, nilai atau harga dari arloji itu akan menjadi dua puluh kali harga sepatu. Seorang pembuat sepatu yang ingin membeli arloji, setidaknya harus membuat dua puluh pasang sepatu untuk membeli atau ditukar dengan arloji.

Pemilik modal hanya mementingkan keuntungan. Sementara para pekerja harus menghasilkan barang yang cukup bernilai untuk mendapatkan gaji guna membiayai keluarga. Mesin modern mereka gunakan untuk memproduksi sesuatu dalam waktu yang singkat. Setiap pekerjaan ini menyumbangkan sejumlah besar nilai lebih (surplus value) kepada pemilik pabrik yang kapitalis. Setelah bekerja dalam waktu yang singkat untuk mendapatkan gaji mereka, para pekerja ini terus bekerja selama waktu yang ditentukan, nilai lebih itu diambil langsung dari mereka dan dijual untuk kepentingan pemilik pabrik. Contohnya: Seseorang untuk membiayai kehidupan keluarganya membutuhkan upah Rp 50.000,- dan harus bekerja selama 8 jam perhari untuk dapat memproduksi sepatu satu pasang. Dengan adanya mesin untuk menyelesaikan sepasang sepatu hanya membutuhkan waktu dua jam. Sehingga seseorang dalam sehari dapat menyelesaikan 4 pasang sepatu. Disini seseorang dalam sehari sudah bekerja lebih 6 jam. Jika dihitung gaji perjam 50.000 : 8 jam= Rp 6.250 per jam. Karena kerja lebih 6 jam sehari, maka seseorang harus mendapat upah seharusnya Rp 50.000 + (6 x Rp 6.250) = Rp 87.500 per hari. Kenyaanya jam kerja lebih itu tidak diperhitungkan kepada pekerja, malah untuk keuntungan pemilik modal.

Kenyataanya jam kerja lebih itu tidak diperhitungkan kepada pekerja, malah untuk keuntungan pemilik modal. Dengan uang surplus tersebut ia mengembangkan usahanya dengan membuka pabrik-pabrik baru dengan menggunakan masin-mesin yang lebih canggih. Sehingga tenaga kerja semakin tidak digunakan dan kehidupannya semakin suram.

Dorongan produksi yang besar dari pekerja, akibatnya menimbulkan dilema baru. Produksi kapital yang berlebihan. Para pekerja dan mesin menghasilkan produksi lebih banyak dari yang dapat dijual. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini para pemilik menempuh jalan mengurangi produksi dengan demikian mengakibatkan periode krisis ekonomi yang ditandai dengan pemberhentian sementara, menurunnya bisnis dan jumlah pengangguran yang banyak.

Dalam kalangan kehidupan ekonomi menjadi landasan konflik social dan akirnya membawa kapitalisme pada kehancuran sendiri. Ditengah degradasi dan penderitaan ekonomi para pekerja terdorong untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan akhirnya menentang seluruh kapitalisme dengan berevalusi.

3. Bangunan Bawah dan Atas

Inti sejarah adalah perjuangan kelas, suatu konflik yang dikontrol dari bawah oleh realitas kehidupan ekonomi yang sulit. Marx membedakan bangunan bawah disebut “landasan” base yaitu masyarakat dengan masyarakat bangunan atas “suprastrukture’nya. Hal ini yang menimbulkan pembagian kerja, perjuangan kelas dan alienasi manusia.

Disemua zaman, negara ada untuk mewakili keinginan kelas yang berkuasa, kelompok yang dominan. Maka dalam masyarakat dibangun diatas prinsip kepemilikan pribadi, ia akan mengesahkan hukum yang keras terhadap pencuri, sehingga ibu dari seorang anak yang mati kelaparan dapat dipenjara karena, mencuri sepotong roti, dari seorang kaya. Walaupun ia memiliki cukup untuk menghidupkan orang banyak.

Pada zaman yang lalu, para pemimpin, teolog, filsuf dan guru moral membantu mengontrol orang miskin dengan mengajar tentang baik dan yang buruk. Pada abat pertengahan ketika pertanian adalah alat produksi utama, semua tanah dimiliki oleh tuan tanah feudal yang mempertahankan milik mereka dengan tentara, budak dan pengolah tanah. Dalam abad pertengahan para filsuf mengajarkan bahwa moral adalah kebenaran yang abadi, bahwa moral itu termasuk dalam tatanan sifat-sifat yang tetap, ketika moral itu ditentukan oleh realitas ekonomi di suatu masa dan tempat tertentu.

Di Inggris pada abad 17 kapitalismelah yang mendorong kelas menengah menentang kekuasaan politik raja yang mapan. Kapitalismelah yang mendorong kelas baru. Protentantisme yang lebih sesuai dengan kepentingan dalam perdagangan, investasi dan usaha individual. Di Prancis 1789, kelas menengah (kaum borjuis kota) yang muncul dari professional dan birokrat yang merencanakan penumbangan raja dan memimpin penyerangan terhadap gereja atas nama hak asasi manusia. Dalam setiap kasus, bangunan atas yang berupa politik dan agama sebenarnya dikontrol oleh landasan ekonomi dan dinamika perang kelas.

C. KRITIK TERHADAP AGAMA

Marx tidak mencurahkan perhatian yang khusus kepada kritik agama, itu disebabkan karena bagi materialisme histories, agama hanya menyatakan keadaan radikal manusia yang menjadi korban sebuah ekonomi. Maka agama akan lenyap begitu saja segera setelah keadaan itu berakir.

Kritik Marxis tentang gagasan Allah serta agama sebenarnya terdiri dari penunjukan apa yang secara konkret menjadi sarat-sarat timbulnya gagasan itu serta akibat-akibat yang merugikan. Agama-agama dan gagasan Allah disini hanya dipandang sebagai fenomena-fenomena dan fakta-fakta yang perlu ditentukan sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Sebab karena marxisme itu suatu materialisme dialektis dan histories[6].

Materialiame dialektika:Pada hakekatnya berada dibawah pengaruh suatu ketegangan intern yang tidak henti-hentinya melompat dari satu keadaan ke keadaan lain yang berlawanan, kemudian ke suatu sintesis yang menagtur pada sebuah tingkat lebih tinggi , sampai sintesa itu harus pada gilirannya untuk mkencapai tingkat yang lebih tinggi pula, dan tampa pernah dapat menemukan keseimbangan yang difinitif. Oleh karena itu hidup adalah lebih dari hanya suatu kegiatan fisiko-kimia saja, kesadaran adalah lebih tinggi dari hanya suatu kegiatan biologis. Keadaan-keadaan yang bertingkat tinggi khususnya mereka yang berhubungan dengan timbulnya kesadaran, merupakan suprastruktur-suprastruktur yang sampai titik tertentu memiliki suatu otonomi dari infrastruktur-infrastruktur dan mampu mempengaruhi mereka. Kondisi material yang paling menentukan. Hegel menegaskan, hidup adalah lebih dari hanya suatu kegiatan fisiko-kimia saja; kesadaran adalah lebih dari hanya suatu kegiatan biologis. Keadaan-keadaan yang bertingkat tinggi dan khususnya mereka yang berhubungan dengan timbulnya kesadaran merupakan suprastruktur-suprastruktur, yang sampai titik tertentu, yang kurang didefinisikan oleh para marxis, memiliki suatu otonomi dari infrasturktur-infrastruktur dan mampu mempengaruhi mereka, tanpa pernah dapat menghindar secara definitive dari determinisme mereka.

Materialisme historis; sejarah sebagaimana seluruh proses terjadinya suprastruktur itu telah disaratkan dan ditentukan oleh fenomena-fenomena dasar yakni yang langsung berhubungan dengan kegiatan-kegiatan paling material yaitu, fenomena-fenomena ekonomi. Manusialah yang pada hakekatnya menciptakan dirinya sendiri dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupannya, maka adalah variasi-variasi cara, alat-alat serta hubungan-hubungan produksi yang secara radikal menjelaskan perubahan-perubahan social, politik dan kultur. Maka fenomena-fenomena agamapun hanya merupakan pantulan dari perubahan ekonomi.

Sumber sejati gagasan Allah, jika manusia merasakan kebutuhan untuk mengendalikan suatu hakikat yang menjadi pegangan dan yang mengisi kekurangannya, itu disebabkan karena ia tidak menemukan dalam dirinya realitasnya yang penuh rasionalitasnya yang sejati, Ia sadar bahwa arti tertentu membiarkan sebagian dari hakikatnya diluar dirinya. Marxisme berpretensi untuk menerangkan kesadaran ini dengan faktor ekonomi telah menimbulkan pembagian dan pertentangan kelas. Penduduk kota dan para petani, yang memerintah dan yang diperintah, pekerja intelektual dan kaum pekerja kasar, kaum borjuis dan kaum proletar, yang masing-masing membiarkan diluar mereka segala kekayaan manusiawi yang dimilki oleh golongan antagonisnya.

Demikian manusia merasa dirinya terpecah. Kodratnya untuk sebagaian telah menjadi asing bagi dirinya sendiri. Ia telah terasing. Gagasan tentang Allah adalah suatu proyeksi mistis dan pengasingan yang mewujudkan kesengsaraan kelas yang tertindas, yang merupakan alat kelas yang berkuasa untuk melangsungkan dominasinya. Agama adalah kesadaran dan perasaan diri bagi manusia ketika ia belum berhasil menemukan dirinya ketika ia sudah kehilangan dirinya. Namun manusia itu bukan suatu makhluk abstrak yang “bercokol” di luar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat. Negara masyarakat itu mengahasilkan agama, yang merupakan suatu kesadaran terhadap dunia yang tidak masuk akal, sebab negara, masyarakat itu merupakan suatu dunia yang tak masuk akal. Agama adalah teori umum, tentang dunia itu (..). Ia adalah realisasi fantastis sejati (…). Kesengsaraan religius, di satu pihak adalah pernyataan dari pada kesengsaraan nyata, dan dilain pihak, suatu protes terhadap kesengsaraan nyata itu. Agama adalah keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak berkalbu, sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh. Agama adalah candu rakyat[7]. Agama bukan saja sia-sia, tetapi juga merugikan. Ia merampas merampas kodrat dan martabat manusia dan mengalihkannya kepada suatu makhluk khayalan. Ia merendahkan derajadnya dengan memberikan perasaan dosa padanya, dengan mengajarkan kerendahan hati padanya, dengan membuatnya hina di hadapan dirinya sendiri, dengan menggambarkan sebagai bejat hasrat-hasratnya yang paling wajar dan tak berslah. Lebih merugikan lagi dengan menawarkan kepada manusia suatu hiburan palsu, dengan membuainya denga suatu harapan sia-sia, ia membelokkannya dari usaha dan perjuangan untuk memperoleh benda-benda nyata, untuk mencapai pembebasan efentif, ia “memistifikasikannya”, makna diri itu “penghapusan agama sebagai kebahagiaan palsu, itulah yang merupakan kebahagiaan sejatinya, itulah tuntutan untuk menolak suatu keadaan yang membutuhkan ilusi-ilusi. Maka kritik terhadap agama pada asasnya adalah kritik terhadap “lembah air mata”, yang mahkotanya adalah agama” [8]:

Agama adalah ilusi semata. Agama ditentukan oleh ekonomi sehingga tidak ada gunanya untuk mempertimbangkan setiap doktrin atau kepercayaannya demi manfaatnya sendiri. Para teolog Kristen memperhatikan setiap sifat personal yang paling dikagumi idea-idea seperti kebaikan, keindahan. Keadaan sebenarnya, hikmat, cinta, ketabahan dan kuatnya karakter lalu mencopoti sifat-sifat itu dari manusia dan memproyeksikannya ke langit, dimana mereka sembah dan dalam bentuk yang terpisah dari diri manusia (supranatural) tuhan. Jadi konsep rasional dan kebebasan hanya menggambarkan cirri-ciri dari kehidupan manusia itu sendiri yang dasar.

Gagasan tentang Allah serta agama sebenarnya terdiri dari penunjukan apa yang secara konkrit menjadi sarat-sarat timbulnya gagasan itu serta akibat-akibatnya yang merugikan. Agama-agama dan gagasan Allah disini hanya dipandang sebagai fenomena-fenomena fakta-fakta yang perlu di tentukan sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Engel menyatakan “ manusia sendirilah yang membuat sejarah ; tetapi di dalam sebuah lingkungan tertentu yang merupakan prasarat bagi sejarah itu, atas dasar kondisi-kondisi ekonomis nyata yang sudah ada sebelumnya; dan di antara kondisi-kondisi itu maka kondisi-kondisi ekonomi, biarpun mungkin dipengaruhi oleh kondisi-kondisi politis dan idiologis, dalam instansi terakhir toh merupakan kondisi-kondisi yang menentukan[9]

Seseorang yang mencari seorang manusia super di dalam realitas langit yang fantastic, disana tidak menemukan apa-apa, kecuali refleksi dari dirinya sendiri. Dasar dari kritisisme yang irreligius adalah manusia membuat agama tetapi agama tidak membuat manusi.

Agama mengambil sifat-sifat ideal moral dari kehidupan manusia yang dasar, dan secara tidak wajar memberikannya pada suatu wujud asing dan khayal yang disebut tuhan. Agama merampas kebaikan individu manusia dan memberikan kepada tuhan.

Ekonomi kapitalis menformulasikan ke obyek yang material sesuatu yang dapat dibeli, dijual dan dimiliki oleh orang lain. Kerja sekedar sebagai suatu komuditas kepada tangan orang kaya yang dapat membelinya. Alienasi dalam agama sebenarnya hanya merupakan ekspresi dari ketidak bahagiaan yang lebih dasar yang selalu bersifat ekonomi.

Mengapa agama sampai eksis?, karena agama lebih memperhatikan kebutuhan manusia yang terealienasi. Marx menulis[10] “ penderitaan agama pada saat yang sama merupakan ekspresi penderitaan ekonomi yang riil dan protes melawan penderitaan yang riil. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berhati, sebagaimana ia adalah roh dari suatu keadaan yang beroh. Ia adalah opium bagi masyarakat. Penghapusan agama karena dianggap kebahagiaan yang ilusi dari orang menjadi syarat bagi, kebahagiaannya yang riil. Tuntutan untuk meninggalkan ilusi menganai keadaannya merupakan tuntutan untuk meninggalkan suatu kondisi yang membutuhkan ilusi.

Agama ibarat narkotik yang menghilangkan rasa sakit yang diderita orang yang dieksploitasi dan mengenai dunia supranatural dimana segala kesedihan berakir, semua penderitaan menghilangkan. Agama menghilangkan pandangan kepada tuhan, padahal seharusnya diarahkan kepada ketidakadilan keadaan fisik dan materi,mereka. Agama sebagai tempat pelarian kaum tertindas.

Bagi kaum tertindas dan kaum yang beruntung agama menawarkan sesuatu yang jauh lebih baik. Agama menyediakan ideology, system nilai, yang memperingatkan orang miskin bahwa semua aturan social harus berada tepat sebagaimana adanya. Disini tuhan menghendaki orang kaya menjadi pemilik dan orang miskin menjadi pekerja, tetap berada ditempatnyaMarx menegaskan “ prinsip social dari agama Kristen bahwa semua perbuatan jahat dari para penindas, terhadap orang-orang yang tertindas adalah merupakan hukuman yang adil terhadap dosa asal dan dosa-dosa yang lain ataupun percobaan yang dijatuhkan Tuhan Yesus di dalam hikmah-Nya yang terbatas kepada orang-orang yang ditebus. Prinsip social ini mengajarkan perasaan pengecut, penghinaan diri, kerendahan diri, ketundukan, kepatahan hati. Percaya kepada tuhan dan keselamatan di surga adalah hanya ilusi yang melumpuhkan dan memenjarakan. Ia melumpuhkan para pekerja untuk melakukan revolusi dengan dunia / menerima apa adanya.

Pendekatan Marx terhadap agama yang menarik bukanlah isi kepercayaan agama, bukan pula apa yang sebenarnya dikatakan benar oleh orang tentang tuhan, surga dan bibel, semua tilisan suci atau wujud ilahi, tetapi peran kepercayaan ini dalam perjuangan social. Kita hanya menentukan fungsinya, menemukan apa yang dikatakan kepercayaan agama pada orang baik secara social, psikologis maupun keduanya. Realitas adalah materi perjuangan kelas dan alienasi. Karena beban ini merupakan realitas dibalik ilusi kepercayaan kita paling-paling hanya dapat menjelaskan agama ketika kita mereduksinya kedalam kekuatan kehidupan ekonomi yang telah menciptakannya.



[1] Louis Leahy, Aliran-Aliran Besar Ateisme Tinjauan Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 90.

[2] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, Qalam, Yogyakarta, 2001, hal. 211.

[3] Ibid, hal.216

[4] T.Z. Lavine, Konflik Kelas Dan Orang Yang Terasing, Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. 17.

[5] Ibid, hal.12-14.

[6] Louis Leahy, Op.cit, hal 96-97

[7] Louis Leahy, Op.Cit, hal 98.

[8] Louis Leahy, Op. Cit, hal 99.

[9] Louis Leahy, Op.Cit, hal. 96.

[10] Daniel L. Pals, Op.Cit, hal 237

Tidak ada komentar: