Selasa, 27 Mei 2008

AKULTURASI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL

Agus Sriyanto

Abstrak:

Di masa sekarang, khususnya di Jawa, sulit bagi kita untuk menemukan bentuk Islam yang asli dan orisinil. Ini dikarenakan, sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Jawa sudah berkembang tradisi Hindu dan kejawen yang angat mengakar kuat di masyarakat. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pekembangan penyebaran Islam. Model dakwah cultural dengan cara damai yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam sangat berpengaruh pada eksistensi Islam saat ini. Dengan cara mengisi seluruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan Islam bisa diterima dengan mudaholeh masyarakat. Namun ada efek negative dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan budaya local, sehingga terjadi percampuran antara agama dan budaya.

Kata Kunci : Islam, Budaya, akulturasi

A. Pendahuluan

Dari sudut pandang teologis, para agamawan banyak berpendapat bahwa berdasarkan asal-usulnya, seluruh agama yang dianut oleh seluruh manusia dapat dikelompokkkan dalam dua kategori.[1] Pertama, agama kebudayaan, disebut juga agama tabi’i, yakni agama yang bukan berasal dari wahyu Tuhan dengan jalan diwahyukan, melainkan agama yang ada karena hasil proses antropologis, yang terbentuk dari adapt istiadat dan melembaga dalam bentuk agama yang formal. Kedua, agama samawi atau agama wahyu , yaitu agama yang dipercayai sebagai agama yang berasal dari wahyu Tuhan melalui malaikat-Nya kepada utusan Nya yang dipilih dari manusia.[2]

Dalam perkembanggannya kedua agama tersebut baik agama kebudayaan maupun agama samawi banyak mengalami perubahan. Kajian-kajian dan studi agama kontemporer sampai pada suatu kesimpulan bahwa Agama itu mempunyai banyak warna. Agama tidak lagi dipahami lagi hanya seperti pemahaman klasik, yang menyatakan bahwa agama diartikan sebagai satu sistem kepercayaan yang hanya berkaitan dengan permasalahan ketuhanan, keimanan, dan way of life. Banyak sisi lain agama,seperti keterkaitannya dengan historisitas dan kultur. [3]

Hampir semua agama memiliki banyak warna dalam dalam hal-hal tertentu misalnya dalam tata cara ibadah atau bahkan mungkin dalam hal kepercayaan yerhadap Tuhan. Oleh karena itulah dalam Islam kita sering mendengar adanya istilah bid’ah dan khurafat[4] yaitu penambahan ajaran agama dari aslinya.

Perubahan dan keragaman warna keberagamaan ini, khususnya Islam, sangat dipengaruhi oleh cara masuknya Islam ke wilayah tersebut. Misalnya penyebaran Islam di Asia Tenggara, khususnya Jawa, dan Timur Tengah memiliki karakteristik yang berbeda. Thomas Arnold, dalam buku klasiknya, The Preaching of Islam (1950) menyimpulkan bahwa penyebaran dan perkembangan historis Islam di Asia Tenggara berjalan secara damai, dalam istilahnya penetration pacifigure. Berbeda dengan ekspansi Islam di banyak wilayah Timur Tengah dan Afrika, yang oleh sumber-sumber Islam di Timur Tengah biasa disebut fath (futuhat), yakni pembebasan yang sering melibatkan kekuatan militer.[5]

Selain hal tersebut di atas, perubahan Islam banyak juga dipengaruhi oleh adanya sebuah proses pemburukan, baik karena factor manusia penganut agama itu sendiri, maupun factor-faktor persentuhan agama tersebut dengan budaya lain serta dengan berbagai keyakinan lain pada suatu tempat.[6]

Dalam menginterpretasikan agama yang diyakini, seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi serta lingkungan social budaya di sekelilingnya. Misalnya seseorang bergaul dengan orang yang berbeda agama, bertemu dengan berbagai kepercayaan lain seperti mistik, magis takhyul dan lain-lain. Kepercayaan kepercayan lain ini akan sangat mempengaruhi keberagamaan dan praktik keagamaan sesorang , yang akhirnya akan diwariskan secara turun temurun kepada genersi seterusnya.[7] Jadi, para pendahulu sangat besar perannya dalam memberikan warna agama dalam suatu masyarakat, karena dari para pendahulu inilah kita “mewarisi” agama yang kita anut sekarang ini. Hal ini harus kita akui, karena sejak kita lahir dan belum sempat “menggunakan nalar“ kita sudah “beragama”, tanpa kita bisa mengecek dan mengkritisi kemurnian dan keaslian agama yang kita anut.

Memang sulit rasanya kita yang hidup sekarang ini, untuk mendapatkan ajaran agama yang murni, khususnya agama Islam, karena kita sudah jauh dari Nabi Muhammad, Saw sebagai penerima wahyu Al-Qur’an. Sehingga yang bisa dilakukan oleh umat Islam sekarang adalah menginterpretasikan Al-Qur’an, guna memahami pesan-pesan Allah. Akan tetapi, interpretasi terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh ahli tafsir tidak bisa menghasilkan suatu penafsiran yang universal yang bisa diterima oleh seluruh umat Islam , bahkan sangat mungkin tafsiran-tafsiran tersebut jauh dari apa yang sebenarnya dipesankan Allah dalam Al-Qur’an. Mungkin ini juga yang menyebabkan Islam menjadi beraneka macam, dan banyak hal-hal yang tidak benar dalam Islam di Indonesia, terutama dalam praktek Ibadahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Snouck Hurgronje :

Untuk melukiskan hukum Islam yang lima, kita mengatakan bahwa puncak atap bangunan Islam yang runcing itu masih ditopang terutama sekali oleh tiang utama, pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, tetapi tiang ini dikelilingi oleh rampai-rampai karya hiasa yang sangat tidak cocok dengannya, yang merupakan pencemaran atas kesederhanaannya yang agung. Adapaun tiang empat yang lain, yang merupakan tiang-tiang penjuru, tampak bahwa daripadanya sudah jadi lapuk karena waktu, sementara beberapa tiang baru yang menurut ajaran ortodoks tidak layak menyangga bangunan suci itu telah didirikan disamping tiang lima yang asli sampai tingkat tertentu telah merampas fungsi tiang-tiang asli itu.[8]

Ungkapan dari Snouck Hurgronje di atas menggambarkan bagaimana kondisi Islam di Indonesia, dimana Islam sudah banyak tercampur dengan budaya, dimana percampuran ini tidak menambah kebaikan Islam tapi justru merusak keaslian Islam sendiri.Memang gambaran Snouck Hurgronje ini adalah untuk menunjuk Islam di Aceh, tapi menurut Geertz dikatakan bahwa kondisi itu berlaku pula bahkan lebih tepat lagi untuk menggambarkan kondisi Islam di Jawa[9]

Sejarah Kedatangan Islam Di Indonesia

Pada tahun 30 Hijriah atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu lebih dulu masuk dan menyebar di hampir seluruh kepulauan nusantara. Menurut catatan sejarah yang ada, bahwa Hindu masuk ke kepulauan Nusantara jauh sebelum Islam lahir di bumi, yakni kira-kira tahun 400 masehi(2abad sebelum Nabi Muhammad,s.a.w)telah ada kerajaan hindu terua di Indonesia yaitu kerajaan kutai di Kalimantan timur.[10]

Selain di Kalimantan timur, kerajaan hindu dan budha juga tersebar hampir di seluruh Indonesia seperti kerajaan Kalingga, Majapahit, Singasari, Kediri, Jenggala dll. Menurut Hamka, bahwa pengaruh Hindhu dan Budha yang sangat luas hampi di seluruh kepulaunan Nusantara, berlangsung dari berabad-abad yang lalu sampai dengan abad empat belas, kemudian baru digantikan oleh Islam.

Islam masuk ke Indonesia dan mulai berkembang pertama kali di Sumatra sekitar abad XIII, melalui hubungan yang panjang dengan jaringan perdagangan dari tanah Hijaz. [11] Akan tetapi hubungan dagang yang terjadi bukanlah hubungan lansung antara pedangan nusantara dengan pedagang dari Hijaz, melainkan dengan pegadang-pedagang Arab yang singgah dan sudah membebtuk koloni di pantai Malabar. Sampai sekarang koloni dipantai Malabar ini dinamakan “mepalla” dan di akui sebagai krturunan Arab, dan mereka memegang teguh Mazhab Syafi’i, sebab Mazhab Syafi’i telah tumbuh dengan suburnya di pantai sebelah utara tanah Arab[12] ( mazhab ini pulalah yang kelak menjadi haluan NU dalam ber-fikih ).

Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah mazhab Syafi’i, yakni bahwa kitab fikih yang ditulis pada pertama kali abad 17 dalam bahsa melayu yaitu Shiratu al Mustaqim karangan Syekh Nuruddin al Raniry. Melalui kitab ini al-Raniry memperkenalkan kitab-kitab fikih yang ditulis oleh tokoh-tokoh ulama mazhab Syafi’i. [13] Selain kitab tersebut juga masih ada kitab lain berbahasa melayu yang juga bermazhab Syafi’I yaitu Hidayatus Salikin yang di tulis oleh Abdul Shamad al-Falembani di Palembang.[14]

Bukti lain yang bisa kita lihat sekarang tentang berkembangnya mazhab Syafi’I di Indonesia adalah dipakainya kitab-kitab Syafi’iah sebagai standar rujukan bagi pengadilan-pengadilan di Indonesia. Berdasarkan surat edaran kepala biro peradilan agama tanggal 18-2-1958 nomor 13/1/735, kitab-kitab yang dimaksudkan adalah :

  1. Al-Bajuri, karya Imam al-Bajuri.
  2. Fathu al- Mu’min, karya al-Malibari.
  3. Qalyubi al-mahalli, karangan Jalaliddin al-Mahalli.
  4. Syarqawi ‘alaal-Tahrir, karangan Imam al-Syarqawi.
  5. Fathu al-Wahab dan syarahnya, karangan Zakaria al-Anshari.
  6. Tuhfah, karangan Ibnu Hajar al-Haitami.
  7. Qawaninu al-Syari’ah, karangan Said Usman bin Yahya.
  8. Tanqihu al-Musytaq.
  9. Qawaninu al-Syari’ah, karangan Said Shadiq Dahlan.
  10. Syamsuri fi al faraid, karangan Imam Syamsuri.
  11. Bughyatu al Mustarsyidin.
  12. Al-fiqhu ‘Ala Mazahibi al-Arba’ah, karangan al-Jaziri
  13. Mughni al- Muhtaj, karangan Syarbaini al Khathib.

Dari kitab-kitab fikih tersebut, hanya satu yang tidak termasuk fikih mazhab Syafi’I yaitu kitab Al-fiqhu ‘Ala Mazahibi al-Arba’ah yang isinya menyajikan pendapat dari mazhab-mazhab lain di luar Syafi’I, disamping pendapat Syafi’iyah sendiri.[15]

Pada abad-abad berikutnya, pertumbuhan Islam dibelahan barat nusantara mengakibatkan hancurnya kekuatan besar Hindu dan Budha terakhir.[16] sumber-sumber Islam di Timur Tengah biasa disebut fath (futuhat), yakni pembebasan yang sering melibatkan kekuatan militer.[17] Cara masuknya Islam ke wilayah Indonesia khususnya Jawa sangat mempengaruhi warna Islam yang berkembang hingga sekarang ini.

Penyebaran Islam Di Jawa

Ada dua pertanyaan yang menarik tentang sejarah masuknya Islam ke pulau jawa. Pertama adalah kapan Islam dating dan kedua dari mana datangnya. Mengenai kapan datangnya Islam ke pulau Jawa, paling tidak ada tiga pendapat mengenai hal tersebut. Pertama, Islam sudah masuk ke Pulau Jawa semenjak abad XI atas dasar inskripsi di Leran, Gresik yang menjelaskan adanya sesorang yang benama Fatimah binti Maimun, yang wafat pada tahun 1082. Pandangan ini mengundang keberatan beberapa kalangan karena diduga bahwa batu nisan tersebut dibawa masuk ke Jawa sesudah tahun yang tertera di dalamnya. Kedua, Islam sudah berda di Jawa semenjak abad XIV berdasarkan batu nisan yang terdapat di Trowulan. Batu nisan tersebut menunjukkan tahun 1368 yang memberi indikasi bahwa pada tahun itu orang Jawa dari kalangan keraton ada yang sudah memeluk Islam. . Ketiga, Islam sudah masuk ke Jawa, pada abad XV berdasarkan batu nisan dari makam Maulana malik Ibrahim yang meninggal pada tahun 1419. beberapa pandangan menyatakan bahwa dia adalah seorang kaya berkebangsaan Persia yang memiliki usha dalam bidang perdagangan rempah-rempah. Pandangan lain menyatakan bahwa is adalah salah seorang diantara wali sembilan yang dianggap penyebar Islam di pulau jawa.[18]

Sedangkan untuk jalur masuknya islam ke tanah jawa, ada beberapa pendapat yang menyatakan, pertama. Islam masuk Kejawa berasal dari Arab secara langsung. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahawa mayoritas pemeluk Islam di Indonesia bermazhab Syafi’I, suatu mazhab yang sangat dominan di semenanjung Arabia pada waktu itu. Kedua, Islam masuk kejawa melalui jalur India. Pandangan ini disampaikan oleh Snouck Hourgonje ketika memberikan kuliah perpisahan di Universitas Leiden. Ketiga, Masuknya Islam ke tanah Jawa melalui Jalur kamboja. Pendapat ini didukung oleh adanya hubungan antara kepulauan nusantara dengan keraton Campa. Pada tahun 1471 keraton tersebut mengalami kekalahan dari Vietnam, sehingga keluarga keraton mengunsi kemalaka, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pantai utara jawa. Melalui pantai utara lambat laun Islam menyebar sampai ke selatan Jawa.

Keempat.Islam masuk ke Jawa berasal dari Cina. Pandangan ini didasarkan pada cerita dari jawa timur yangmenyatakan bahwa Raden Patah adalah putra seorang perempuan Cina. Kelima, Islam disebarkan melalui bermacam-macam jalur. Pandangan lain yang lebi bersifat merangkum teori di atas menyatakan bahwa asal-usul Islam adalah dari para guru sufi yang dalam perjalanan mereka ke nusantara dapat melalui lautan Hindia, atau melalui jalur perdagangan sutera. Teori ini tidak bias diabaikan begitu saja, karena dalam perkmbangannya unsure sufisme sangat dominant dalam kehidupan keagamaan di Indonesia dan berkembang sampai sekarang.[19]

Dari uraian di atas bisa ditarik sebuah gambaran bahwa pengislama tanah jawa merupakan hasil jerih payah para peantau dan para pedagang. Di berbagai tempat, terutama di pesisir tanah jawa, para perantau dan para pedagang ini mendapat sambutan yang baik sebagai ahli spiritual dan intelektual. Mobilitas social yang tinggi, wawasan yang luas, kemampuan berdagang, mempunyai jaringan antar bangsa, membuat daya tarik bagi bagi kerajaan-kerajaan di jawa. Mereka banyak ditari dan dijadikan sbagai penasihat kerajaan, tenaga ahli dan bahkan diminta utuk membantu usaha. Berdasarkan keterangan di atas maka proses islamisasi dijawa berjalan lancar melalui proses budaya dan perdagangan.

Dalam perkembangan selanjutnya, bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa tidak saja hanya di dominasi oleh para saudagar melalui perdagangan. Akan tetapi ada juga tokoh-tokoh lain yang berperan besar, diantaranya adalah ulama-ulama local yang menguasaia pengetahuan Islam melalui studi literature, serta para pengikut sufi yang dating dari luar yang sengaja datang untuk mengajarkan islam serta meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman. Selain itu Islam juga disebarkan mealui institusi kekuasaan politik yang dapat dipadukan dengan perluasan kependtingan budaya dan ekonomi. Melalui ketiga saluran tersebut di atas, Islam semakin luas tersebar keseluruk pelosok jawa.

Pergumulan Islam Dengan Budaya Lokal

Masuknya Islam ke kepulauan Nusantara, tidak serta merta merubah tradisi dan budaya yang sudah ada. Dakwah Islam hingga sampai perkembangannya yang sekarang membutuhkan waktu yang panjang dan berliku. Hal ini disebabkan karena sudah adanya budaya yang mengakar kuat di dalam masyarakat, yakni budaya hindu yang dikembangkan menjadi sendi-sendi kehidupan politik kebudayaan kerajaan-kerajaan kejawen semenjak jauh sebelum islam hingga kerajaan Mataram.[20] Selain mengakar kuat dilingkungan istana ,budaya hindu juga telah terserap kedalam budaya pedesaan (wong cilik) yang masih dalam bayang-bayang animisme dan dinamisme.

Kuatnya tradisi Hindu tersebut ternyata cukup menyulitkan penyebaran agama Islam. Dari perjalanan sejarah proses islamisasi Jawa, tampak bahwa Islam sulit diterima di lingkungan budaya Jawa Istana, bahkan dalam cerita Babad Tanah Jawa dijelaskan bahwa Raja Majapahit menolak agama baru tersebut. Bila sang raja menolak, akibatnya tentu tidak mudah bagi Islam untuk masuk ke dalam lingkungan istana. Karena itu para penyebar agama Islam kemudian lebih menekankan kegiatan dakwahnya di lingkungan pedesaan, kususnya daerah pesisir pulau Jawa.[21]

Dakwah Islam ditianjau dari segi interaksinya dengan lingkungan sosial setempat berkembang dua tipe, yaitu kompromis dan non kompromis.[22] Pendekatan non kompromis memiliki ciri khusus hanya dapat menerima unsur yang seirama dan bisa di integrasikan dengan agama Islam. Jati diri atau kepribadian ajaran agama dijaga dan harus dominan tidak akan dikorbankan. Maka apabila para pendukung mempertahankan budaya lama, tidak toleran dan bersikap progresif biasanya memancing ketegangan dan menimbulkan konflik.

Dalam sejarah penyebaran agama Islam keluar dari jazirah arab, pendekatan kompromis paling dominan dan amat mewarnai, baik di Afrika, Eropa maupun Asia khususnya kepualauan nusntara.[23] Istilah kompromis ini berarti islam memadukan atau mempertemukan ajaranya dengan budaya setempat yang mungkin sebagian berlawanan dengan ajaran Islamyang tercantum dalam Al-Qur’an. Pendekatan baru ini membentuk suatu sinkretis yang kadang kala menyimpang dari ajaran yang asli.[24]

Jika diteorikan secara umum, hubungan antara agama dan system nilai kebudayaan pada semua dataran kebudayaan akan terjadi tiga kemungkinan, yaitu:

  1. Agama dimenangkan terhadap system nilai budaya setempat.
  2. Agama dikalahkan oleh system nilai budaya setempat.
  3. Agama dan system nilai budaya dikompromikan. Dalam arti kompromi ini dapat berwujud beberapa kemungkinan :

berdiri sendiri-sendiri tanpa saling mempengaruhi.

    • Sintesis
    • Sinkretis.[25]

Dari uraian di atas bahwa dakwah islam di kepulauan nusantara dengan cara yang kompromis dengan budaya lokal, maka hampir tidak terjadi konflik dalam penyebaran islam. Dakwah yang kompromis atau toleran dengan budaya lokal ini juga memiliki beberapa dampak negatif. Mode dakwah yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam di pulau Jawa adalah model dak wah cultural yang sangan kompromistis dengan budaya local. Seperti apa yang dilakukan oleh Wali Songo dalam dakwahnya di pulau Jawa. Dampak negative tersebut adalah bahwa muslim di Jawa menjadi permisif terutama dengan budaya non Islam. Selain dampak negatif, dampak positifnya adalah islamisasi di Jawa secara besar-besaran terjadi tanpa ada gejolak yang berarti. Selain itu tradisi dan kebudayaan lama tidak mereka hapuskan secara radikal dan frontal tetapi yang mereka hilangkan hanyalah hal-hal yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam, lalu diganti dengan unsur-unsur ajaran Islam.[26]

Contoh dari model dakwah wali songo di atas antara lain adalah, penggunaan wayang sebagai medianya. Cerita wayang asli adalah bersumber dari kitab Hindu Mahabarata dan Ramayana. Dalam pandangan Islam cerita wayang tersebut, banyak mengandung unsur musyrik, maka demi kepentingan dakwah maka Sunan Kalijaga membuat cerita wayang dalam versi Islam, seperti misalnya cerita Jimat Kalima Sada. Hal ini dilakukan karena ayang ketika itu merupakan budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat sehingga dirasa cukup efektif untuk menghilangkan kemusyrikan yang ada dalam masyarakat pada waktu itu. Selain membuat cerita wayang yang islami sunan kalijaga juga mengubah bentuk wayang, dari model wayang beber (gambar) dibuat wayang yang terperinci satu persatu tokohnya, serta mengubah gambar-gambar yang mengandung kemusyrikan.[27] Selain melalui media wayang, media lain yang digunakan adalah karawitan. Dengan media ini wali sanga menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan islam.

Sasaran dakwah Wali Sanga sendiri sangat luas, dari golongan tinggi sampai golongan rendah. Siasat yang dipakaipun juga sangat rapi. Cara pendekatanya bukan dengan memaksakan orang harus masuk Islam, melainkan mengisi segala cabang hidup dan kehidupan lahir batin orang dengan serba islam.[28] Disinilah terjadi akultirasi dan sinkretisasi antara tradisi Jawa dan kepercayaan lokal di satu fihak, dengan ajaran kebudayaan Islam dilain fihak. Oleh karena itulah muncul ritual-ritual alsi jawa yang diislamkan, seperti upacara surtanah, nelung ndina, mitung ndina, matang puluh dina, mendak, nyewu dan lain sebagainya.[29] Bentuk-bentuk sinkretis juga terjadi dalam peringatan hari-hari besar Islam, seperti gerebeg mulud, garebeg pasa (hari raya fitrah), garebeg besar, dan tanggap warsa (menyambut tahun baru jawa).[30] Munawir Sazali, mantan menteri agama RI, dalam beberapa kesempatan telah mengumpamakan hal tersebut dengan sebuah botol minuman keras yang memabukkan. Isinya dibuang dan diganti dengan air tawar yang menyegarkan.[31] Ringkasnya adalah bahwa sinkretisme Islam di Jawa bisa dilihat bahwa, secara umum kemasan ritualnya tetap ritual budaya Jawa, tetapi isinya telah diganti dengan ajaran Islam.

Perpaduan Islam dengan budaya local ini tidak hanya terjadi di Jawa, akan tetapi hampir di seluruh kepulauan Nusantara. Di Sumatra Barat, Aceh, dan di Sulawesi, upacara dan tradisi serta hukum adat lokal juga masih dijalankan, namun telah bernafaskan Islam.[32]

Selain karena strategi dakwah kultural yang berbasis pada budaya msyarakat, faktor lain yang memudahkan diterimanya islam adalah adanya nuansa mistik dalam ajaran Islam yang datang ke Indonesia. Mistik Islam ini bersumber pada ajaran tassawuf Al-Ghazali. Dunia mistik inilah yang memang merupakan titik pertemuan kebudayaan jawa dengan unsur-unsur agama Islam. Demikian pula filsafat jawa tidak luput dari perpaduan dengan filsafat Islam, meskipun terdapat hal-hal pokok yang kurang sepadan.[33] Mistik Islam atau tasawuf merupakan wilayah ajaran Islam yang lebih kompromis dengan budaya dan tradisi setempat, termasuk tradisi Jawa. Hal ini karena kecenderungan ajaran sufi yang mistis sehingga banyak persamaan warna.[34] Islam yang sinkretis tersebut di atas tetap terpelihara dan terus berkembang dalam masyarakat, terutama dilestarikan oleh kalangang pesantern.

Penutup

Penyebaran serta penanaman idiologi dan agama kepada masyarakat tidak bisa dengan begitu mudah untuk dilakukan, akan tetapi melului sebuah proses panjang dan berliku. Apalagi jika masyarakat tersebut sudah memiliki idiologi yang tertanam dengan sangat kuat. Seperti halnya penyebaran Islam di pulau jawa. Sebelum Islam masuk ke Pulau Jawa, masyarakat sudah memiliki agama dan kepercayaan sendiri, yakni Hindu dan kejawen.

Kenyataan diatas yang menyebabkan para penyebar agama Islam di Jawa khususnya wali songo mengambil model dakwah secara cultural yang sangat kompromistis dengan budaya yang sudah berkembang. Jalan yang ditempuh adalah dengan mengisi budaya local dengan nilai-nilai Islam Ternyata model dakwah semacam ini memiliki dampak positif maupun negative. Dampak positifnya adalah, dakwah semacam ini tidak merusak budaya yang sudah ada sehingga tidak mengundang konflik dan ketegangan dalam masyarakat, sehingga Islam mudah diterima serta budaya local masih tetap utuh. Namun disisi lain mengakibatkan terjadinya percampuran antara Islam dengan budaya local. Sehingga jika ditilik dari sisi kemasannya, Islam di Jawa ritulnya kelihatan sangat kejawen, tapi jika ditilik dari isinya sangat Islami.

DAFTAR PUSTAKA

Abu zayd, Nasr Hamid, Imam Syafi’I, Moderatisme Eklektisisme Arabisme, LKIS, Yogyakarta, 1997.

Abdullah, Sayamsudin, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, Logos Jakarta, 1997

Amin M. Masyur dan M.Nasikh Ridwan dalam pengantar Dunia Pemikiran Kaum Santri, LKPSM NU DIY, Yogyakarta, 1994

Anwar, Rosehan dan Andi Bahrudin Malik,ed.Ulama dalam Penyebaran Pendidikan dan Khasanah Keagamaan, Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, Jakarta 2003

Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan kekuasaan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999

Damami, Muhammad, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, LESFI, Yogyakarta,2002.

Dly, Hamdan, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia, Badan Litbang & Diklat Keagamaan, Depag RI, Jakarta, 2002.

Fealy, Greg, Ijtihat Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967 ( terj ) Yogyakarta, LKiS, 2003

Feillard Andree, NU vis a vis Negara, LKiS, Yogyakarta 1999.

Forsyth, Donelson R., An Introduction to Group Dynamics, Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California,1983

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa ( terj ) Pustaka Jaya, Jakarta, 1989.

Hamka, Sejarah Ummat Islam,Jilid IV, Bulan Bintang , Jakarta, 1976

Husein, Machnun, Etika Pembangunan dalam Pemikiran Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1986.

Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Lazuardi, Yogyakarta,2002

kamajaya H. Karkono, kebudayaan jawa Pepaduannya dengan Islam, IKAPI, Yogyakarta 1995

Maschan Moesa, Ali, Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society, LEPKISS, Surabaya, 1999.

Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Bandung, 1995

Norma Permata, Ahmad, Metodologi Studi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000

Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga : Sintesis Ajaran Walisanga VS She Siti Jenar, Persada, Yogyakarta, 2003.

Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga, Persada, Yogyakarta, 2002

Rahardjo, Dawam.ed, Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, P3M, Jakarta1985.

__________________, Islam Sosialisme & Kapitalisme, Madani Press, 2000

Lauer, Robert. H., Perspectif Tentang Perubahan Sosial,( terj ) Rineka Cipta Jakarta, cetakan ke 2 , 2001

Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, teraju, Jakarta, 2003

Van Peursen, C.A, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1988.

Weiner, Myron, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,1981




[1] Dadang kahmat, Sosiologi agama , Rosda karya, bandung, 2000, hal 35.

[2] ibid

[3] Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 hal.

[4] bid’ah adalah penambahan dalam peribadatan dari yang ditetapkan Nabi Muhammad, SAW, sedang khurafat adalah kepercayaan tambahan yang dianggap menyimpang dari ajaran dasar agama Islam. Selengkapnya lihat Dadang Kahmad Ibid

[5] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan kekuasaan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999 hal. Xvi

[6] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama …hal 36

[7]Ibid …hal 36

[8] Snouck Hurgronje dalam Geertz, The religion of Java, terjemahan Pustaka Jaya , Jakarta1989 hal 169.

[9] Cliffod Geertz…ibid

[10] Hamka, Sejarah Ummat Islam,Jilid IV, Bulan Bintang , Jakarta, 1976 hal 26

[11] Andree feillard, NU vis-à-vis Negara Pencarian isi, bentuk dan makna , LKIS, Yogyakarta, 1995, hal 3.

[12] Hamka, sejarah …28

[13] Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihat : isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Ciputat Press, Jkarta 2002, hal 110

[14] Ibid…. hal 111.

[15] Ibid hal…120-121

[16] Andree feillard, NU…

[17] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan kekuasaan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999 hal. Xvi

[18] Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2004, hal 5-6.

[19] Ibid, hal… 7-9

[20] Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga, Persada, Yogyakarta, 2002, hal 37.

[21] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, teraju, Jakarta, 2003 hal 66

[22] Simuh , dalam Purwadi, sejarah….hal 34

[23] Purwadi, Sejarah….hal 34

[24] ibid, hal 34-35

[25] Muhammad Damamy, Makna Agama dalam Masyarakat jawa, LESFI, Yogyakarta2002, hal 9

[26] Purwadi….hal 52

[27] Ibid, hal 63-64

[28] H. Karkono kamajaya, kebudayaan jawaPrpaduannya dengan Islam, IKAPI, Yogyakarta 1995, hal 297

[29] Purwadi, Sejarah…hal 53

[30] simuh, Islam….hal95

[31] Ibid

[32] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, teraju, Jakarta, 2003 hal 66

[32] H. Karkono kamajaya, kebudayaan jawaPrpaduannya dengan Islam, IKAPI, Yogyakarta 1995, hal 266

[32] Purwadi, Sejarah….hal 34

[33] H. Karkono kamajaya, kebudayaan jawaPrpaduannya dengan Islam, IKAPI, Yogyakarta 1995, hal 266

[34] Purwadi, Sejarah….hal 34

Tidak ada komentar: