Selasa, 27 Mei 2008

Aristoteles


Pendahuluan

Aristoteles (382-322 SM) merupakan filsuf pertama yang melakukan usaha penertiban pikiran manusia dengan membuat kategori-kategori dari benda-benda. Ia juga menunjukkan bahwa pikiran manusia memiliki kemampauan untuk berpikir secara sistematis dan logis. Silogisme, salah satu bentuk inference yang masih digunakan hingga kini, merupakan hasil pemikiran Aristoteles.

Dapat dikatakan bahwa Aristoteles adalah peletak dasar dari sistematika berpikir manusia. Berbagai buah pikirannya dalam bidang logika masih menjadi rujukan hingga saat ini. Mulai dari penjelasan tentang abstraksi, 10 kategori tentang ‘ada’, sampai ke pembuatan definisi. Pemikiran Aristoteles banyak mempengaruhi filsuf-filsuf setelahnya. Banyak fislsuf Islam yang menerjemahkan karya-karyanya dan mendasarkan pemikiran mereka pada karya Aristoles, meskipun mereka melakukan revisi dan pengembangan terhadap karya-karya itu. Suhrawardi, misalnya, mengambil pemikiran Aristoteles tentang definisi, lalu menambahnya dengan dasar pemikiran filsafat iluminasinya. Ia memadukan pemikiran Aristoteles dengan pandangan-pandangan Islam dan tradisi sufiistik Persia.

Pada jaman modern, pikiran Aristoteles memiliki banyak pengaruh, terutama dalam pemikiran kaum empiris dan filsuf filsafat analitis. Pemikiran Aristoteles yang besar pengaruhnya adalah pemikiran tentang bahasa yang dikaitkan dengan logika. Selain itu banyak logika modern yang dikembangkan berdasarkan logika Aristoteles. Pada pendukung Aristoteles, mereka menambah dan merevisi pemikirannya. Pada mereka yang menentang, mereka mengembangkan pandangan berdasarkan penolakannya terhadap Aristoteles. Adanya pro-kontra ini menunjukkan betapa Aristoteles memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran manusia, sejak jama Yunani Klasik, Abad Pertengahan, sampai ke Abad Modern. Bahkan saat ini, mash banyak pemikir yang mendukung Aristoteles.

Dalam makalah ini akan dikemukakan dua buah pemikiran Aristoteles yang penting, yaitu 10 kategori tentang ‘ada’ dan aturan pembuatan definisi. Uraian tentang keduanya pada tulisan ini sudah mengalami beberapa revisi, namun pada dasarnya merupakan hasil pemikiran Aristoteles. Kedua pemikiran ini dikemukakan karena keduanya merupakan dasar dari kegiatan berpikir yang sistematis.

10 Kategori menurut Aristoteles

Salah satu karya penting dari Aristoteles ada penentuan kategori-kategori dari benda-benda. Ia menyusunnya dalam kategori-kategori tentang ada (being). Kategori ini didasarkan pada pengamatan terhadap kenyataan. Walaupun yang ditampilkan adalah ide, tetapi ide-ide itu mewakili kenyataan. Karena itu Aristoteles berangkat dari kenyataan-kenyataan. Berikut ini skema dari 10 kategori tentang ‘ada’.

Ke-10 kategori yang diajukan Aristoteles adalah: 1) Substansi, 2) kuantitas, 3) kualitas, 4) relatio (hubungan), 5) actio (tindakan), 6) passio, 7) temporal (kapan/waktu), 8) di mana (spatial/tempat), 9) silus (posture), dan 10) habitus.

Pembagian 10 kategori ini penting sekali pengaruh dalam proses berpikir yang sistematis. Meskipun pada kemudian hari ada beberapa filsuf yang memberikan kritik dan revisi terhadapnya, namun tak dapat dipungkiri, 10 kategori ini merupakan dasar pertama dari kegiatan berpikir yang sistematis dan analitis.

DEFINISI

Selain membuat 10 kategori tentang ada, Aristoteles juga mengemukakan pemikiran tentang definisi. Ia menyatakan beberapa jenis definisi dan aturan-aturan pembuatan definisi. Definisi adalah pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal. Definisi menjawab pertanyaan: apakah itu? Untuk dapat mendefinisikan suatu istilah kita harus tahu persis tentang hal yang didefinisikan.

Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi di antaranya adalah 1) keterbatasan pengetahuan dan 2) keterbatasan istilah. Keterbatasan pengetahuan sering menyebabkan pembuatan definisi yang terlalu luas. Sedangkan keterbatasan istilah dapat menyebabkan adanya penggunaan istilah yang sama untuk mewakili hal yang berbeda. Kedua kendala ini menyebabkan sulit dicapai definisi yang 100 %

Ada berbagai jenis definisi. Pembedaan jenis itu dilakukan berdasarkan kesesuaiannya dengan hal/kenyataan yang diwakilinya.

Jenis-jenis Definisi

A. Definisi Nominal atau Sinonim:

Menerangkan arti kata.

Contoh:

- Introspeksi = menilai diri sendiri

- Inspeksi = memeriksa

- H P = Horse Power = Tenaga Kuda

B. Definisi Real atau Definisi Analitik

Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri. Pembuatannya menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan.

Contoh: HP adalah daya gerak yang ada dalam mesin yang dinyatakan dengan daya gerak seekor kuda.

Definisi real dibagi menjadi:

1. Definisi esensial: menerangkan inti (esensi) dari suatu hal, yaitu jika definisi itu mengemukakan genus dan diferentia. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan. Diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan. Ciri khas inilah yang membedakan suatu hal dengan hal lain.

Contoh: manusia adalah makhluk rasional. “Mahluk” adalah genusnya, “rasional” adalah diferentia spesifiknya. Definisi ini adalah definisi yang ideal dan mendekati hal yang didefinisikan.

2. Definisi deskriptif: mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial mengenai suatu hal :

a. Definisi distingtif: mengemukakan properties. Contoh: Oxygen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak mempunyai rasa, 1105 kali dari berat udara, mencair pada suhu dibawah -115 derajat C .

b. Definisi genetik: mengemukakan asal mula atau proses terjadinya suatu hal. Contoh: air adalah zat yang terjadi dari gabungan 2 atom Hdrogen dan 1 atom Oxygen; lingkaran adalah bentuk geometris yang terdiri dari garis-garis lurus yang sama panjang yang terletak pada bidang datar dan berawal dari satu titik pusat .

c. Definisi kausal: menunjukan penyebab atau akibat dari sesuatu hal. Contoh: Lukisan adalah gambar yang dibuat oleh seorang seniman, arloji adalah alat penunjuk waktu.

d. Definisi aksidental: tidak mengandung hal-hal yang esensial dari suatu hal. Contoh: Dijual rumah. Luas tanah: 170 m2. Bangunan bertingkat dan pekarangan tertata rapih. Lokasi: Jl. Macan No. 30 Jakarta Pusat. Dilengkapi telepon dan AC. Lingkungan nyaman, aman, dan tentram.

Definisi real jarang bisa tercapai sepenuhnya karena seringkali ada karakteristik-karakteristik yang tak dapat disampaikan dengan kata-kata. Selain itu juga ada kendala kurangnya pengetahuan si pembuat definisi.

Selain itu, ada juga definisi yang dibuat dengan menggunakan contoh, misalnya: minuman yang sehat itu di antaranya air dan hasil perasan buah segar. Namun jenis definisi kurang memadai sebagai definisi karena tidak mencakup keseluruhan idea yang terkandung dalam istilah atau hal yang didefinisikan. Ada juga istilah yang tidak dapat didefinisikan karena langsung kontak dengan indera. Contoh: manis, pahit, dan sakit. Ada juga yang sulit didefinisikan karena istilah itu sangat umum. Contoh: “ada” (hanya dapat didefinisikan dengan cara membandingkannya dengan “tidak ada”, yang merupakan istilah di luar istilah yang didefinisikan). Contoh lain: “satu”, “benda”, dan “hal”.

Aturan membuat definisi.

1. Definisi harus lebih jelas dari yang didefinisikan jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya. Untuk itu harus diperhatikan catatan-catatan berikut ini:

a. Hindari istilah-istilah yang muluk. Contoh: “Manusia adalah alam semesta yang mengejawantah.” “Kewibawaan adalah pancaran nurani dan kedigjayaan manusia.”

b. Hindari istilah-istilah yang sulit dimengerti (tidak lazim). Misalnya: Pemimpin adalah orang yang bersifat ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani.

2. Definisi tidak boleh mengandung idea/istilah dari yang didefinisikan. Contoh: “Binatang adalah hewan yang mempunyai indera.” “Emosi adalah gejolak perasaan.” Definisi semacam ini dinamakan: Circular definition.

3. Definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas. Contoh: “Buku adalah sejumlah kertas yang terjilid.” Kalau dibalik: “Sejumlah kertas yang terjilid adalah buku.” Contoh yang salah: “Kecap adalah penyedap masakan.” Kalau dibalik: Penyedap masakan adalah kecap. Dalam hal ini pembalikan tidak tepat, karena penyedap makanan belum tentu kecap.

4. Definisi harus dalam kalimat positif (bukan negatif/pengingkaran). Contoh yang salah: “Gembira adalah keadaan tidak sedih.” “Manusia bukan binatang.”

Penutup

Demikianlah penjelasan tentang definisi yang didasarkan pada pemikiran Aristoteles. Aturan tentang definisi ini penting sekali dalam proses berpikir yang sistematis dan analitis. Dengan adanya batasan yang jelas, dapat dilakukan kegiatan berpikir yang konsisten dan konsekuen. Dengan demikian tertib berpikir dapat dicapai. Hal yang penting lagi dengan adanya pembatasan yang jelas, proses berpikir manusia terhindar dari skeptisisme. Sekali lagi, tidak salah kiranya kalau dikatakan bahwa Aristoteles merupakan “Peletak dasar sistematika berpikir.”***

Filsafat Sosial Marx: Usaha Meningkatkan Keberdayaan Filsafat dalam Menyelesaikan Masalah Kongkret

Kapitalisme banyak mendapat tentangan karena dianggap memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi manusia. Manusia pemilik modal akan cenderung dipengaruhi tindak-tanduknya oleh jalannya modal, sementara para pekerja diperas tenaganya untuk memenuhi tingkat produksi yang dinginkan pemilik modal. Begitu kritik yang muncul, paling tidak dari seorang filsuf sosial besar: Karl marx. Marx adalah tokoh yang sering menjadi sentral bagi pengajuan kritik terhadap kapitalisme. Pemikirannya tentang ‘materialisme-historis’ menjadi acuan banyak orang dalam melakukan kritik terhadap kapitalisme. Teori-teori yang diajukannya, seperti teori nilai lebih dan teori penumpukkan modal pada pengusaha, mempengaruhi banyak orang baik filsuf maupun politikus.

Niat yang disampaikan Marx pada awal-awal saat mengemukakan pemikirannya tentang masyarakat tanpa kelas terdengar mulia. Ia berniat untuk membebaskan manusia dari pengaruh mekanisme kekuasaan yang terdapat dalam kegiatan produksi. Pengusaha, menurutnya, mengambil lebih banyak dari pada apa yang diberikannya kepada buruh. Sehingga semakin-hari ia makin kaya, dan si buruh makin miskin. Lalu Marx mengajukan idenya tentang komunisme lewat uraiannya dalam Das Kapital. Ia menyerukan adanya persamaan kelas dalam masyarakat, dengan katalain ia menganjurkan dibentuknya masyarakat tanpa kelas. Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.

Dari Dialektika Abstrak ke Dialektika Kongkret

Pada awalnya Marx banyak dipengaruhi oleh Hegel. Saat itu Hegel seakan-akan telah memikirkan segala-galanya, sehingga Marx dan pengagum Hegel lainnya bertanya: “Adakah filsafat setelah Hegel?” Pertanyaan ini berangkat dari kekaguman Marx dan pengikut lainnya kepada Hegel. Dalam pemikiran Hegel seolah-olah roh semesta telah menemukan diri dan itu berarti bahwa sebuah perkembangan tak mungkin lagi. Pemikir-pemikir pasca Hegel seperti mengalami dilema dalam berpikir sambil bertanya-tanya filsafat apalagi yang dapat dihasilkan oleh mereka.Namun sampai juga saatnya, ada jalan keluar dari dilema pasca Hegel itu. Ditemukan bahwa realitas sosial-politik yang telah dipikirkan Hegel secara sempurna ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Realitas membuktikan pemikiran itu salah. Pemikiran itu mungkin sempurna, namun sempurna dalam dirinya sendiri. Ia kehilangan kesempurnaannya ketika dihadapkan dengan realitas. Marx melihat pemikiran Hegel belum dapat menyelesaikan masalah-masalah praktis. Sementara bagi Marx, filsafat harus menjadi praktis, harus bersifat membeaskan manusia dalam kegiatan-kegiatan praktis.

Satu pemikiran Hegel yang terkenal yang diambil Marx namun direvisi habis-habisan adalah konsep dialektika. Dengan dialektika Hegel mau menunjukkan perlunya proses perkembangan rasio yang berhadapan dengan berbagai rintangan, Dengan kata lain, dialektika Hegel adalah dialektika yang mement­ingkan adanya kontradiksi antara unsur-unsur yang ada dalam kehidupan ini (Sindhunata, 1983). Unsur-unsur itu harus dinegasi­kan satu dengan yang lain untuk bisa menghasilkan unsur yang lebih baik. Dalam pengertian Hegel, rasio harus melakukan refleksi atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dan sejarah. Rasio menjalani suatu refleksi terhadap proses rasio menjadi sadar atau refleksi atas asal-usul kesadaran.

Marx mengambil kerangka dialektika dari Hegel. Ia mengisi dialektika Hegel dengan kerangka materialisme-nya. Menurut Marx, dialektika Hegel masih kabur dan belum menghasilkan apa-apa bagi praxis karena tak jelas sasaran pragmatisnya. Marx membuka kesadaran akan adanya mekanisme-mekanisme obyektif hubungan penindasan dan menunjukkan cara pemecahan untuk keluar dari sana. Karena adanya mekanisme itu, manusia harus waspada bersikap kritis pada masyarakatnya. Individu tidak boleh menelan begitu saja pengaruh dari masyarakat dan objek-objek di sekitarnya.

Filsuf lain yang banyak berpengaruh terhadap Marx adalah Feuerbach yang mengemukakan bahwa agama adalah suatu keterasingan hakikat manusia dari manusia sendiri. Bagi Marx, kerangka pikiran Feuerbach ini memberikan dua hal: 1) suatu pengertian baru tentang di mana letak kekurangan prinsipil Hegel; 2) suatu kerangka untuk memahami seluruh realitas masyarakat. Dalam cahaya Feuerbach, Marx memahami filsafat Hegel sebagai pemikiran dalam keterasingan atau dalam abstraksi. Pikiran Hegel mencapai kesempurnaan sebatas pikiran atau ide. Pada kenyataannya, sesuatu yang dipikirkan itu jauh dari kesempurnaan. Perbedaan antara yang dipikirkan dan kenyataan dalam filsafat Hegel ini merupakan tanda bahwa pikiran Hegel ideologis. Dengan memikirkan saja kesempurnaan masyarakat, Hegel membiarkan masyarakat nyata tetap dalam keadaan buruk. Disini dapat dikatakan pikirannya mendukung kepentingan pihak-pihak yang beruntung dari keadaan buruk masyarakat. Dalam hal ini, Feuerbach membantu Marx mendeteksi segi ideologis dalam filsafat Hegel.

Dengan landasan dari Feuerbach pula, filsafat kemudian oleh Marx ditarik kepada aspek kongkretnya. Filsafat harus dapat membantu manusia melepaskan diri dari masalah-masalahnya, terutama irasionalitas. Filsafat haruslah dapat membebaskan manusia dari irasionalitas. Seperti yang sudah disinggung di atas Marx tetap mengambil konsep dialetika Hegel namun ia mengisinya dengan kerangka yang kongkret, yaitu kerangka materialisme historis.

Marx juga mengambil kritik agama Feuerbach untuk dijadikan sarana teoritis dari pemikiran-pemikirannya, terutama untuk menganalisis realitas sosial-politik pada zamannya yang tidak beres. Feuerbach yang mengkritik agama sebagai peralinasian hakikat manusia secara tidak benar, secara terasing, menggugah Marx untuk bertanya: “Mengapa manusia sampai merealisasi diri secara terasing?” Menurut Marx pertanyaan ini belum terjawab oleh Feuerbach. Marx-lah yang memberikan jawabnnya. Menurut Marx, manusia mau merealisasi dirinya dalam keterasingan karena kenyataan tidak memungkinkannya untuk merealisasikan diri. Kenyataan sosial-politik tidak memungkinkannya merealisasi diri sehingga manusia melarikan diri kepada agama. Agama hanya pelarian, bukan penyebab utama keterasingan manusia. Ada hal lain yang lebih utama yang menyebabkan manusia mengalinasi dirinya, yaitu kondisi dalam masyarakat. Marx menegaskan bahwa realitas masyarakat harus dianalisis agar faktor-faktor penyebab keterasingan itu dapat diidentifikasi dan dihilangkan.

Keterasingan primer ditemukenali oleh Marx dalam bidang produksi. Karena keharusan pembagian kerja, terbentu dua kelas sosial: para pemilik modal yang menguasai alat-alat kerja dan para pekerja yang mneguasai tenaga kerja. Karena tanpa alat-alat kerja, para pekerja tidak mampu bekerja, maka para pemiliki modal yang menguasai alat-alat produksi lebih berkuasa dan menjadi kelas yang berkuasa. Sedangkan para pekerja, kaum buruh kelas bawah, menjadi kelas yang dikuasai. Para buruh harus bekerja, selain untuk menghidupi dirinya, juga untuk menghidupi si pemilik modal. Di sini para buruh diatur oleh mekanisme kerja dan para penguasa mengambil jatah yang bukan haknya. Di sinilah keterasingan fundamental manusia: keterasingan dari dirinya sendiri dan orang lain.Keterasingan dari dirnya sendiri karena manusia harus menyangkal kekhasan individualnya dalam proses kerja. Keterasingan dari orang lain karena orang lain menjadi lawan kelas dan penindas atau kalau ia kawan sepekerjaan, menjadi saingannya di tempat kerja.

Marx melihat masalah keterasingan manusia adalah akibat dari dianamika sistem sosial. Oleh karena itu keterasingan manusia dalam segala dimensi hanya dapat diakhiri apabila sistem sosial yang menyebabkan adanya hak milik pribadi atas alat-alat produksi diakhiri. Dengan kata lain, bagi Marx sosialisme menjadi tuntutan dasar.

Permasalahan sosial yang dihadapinya membuat Marx makin menarik filsafat kepada aspek praktis. Marx melihat bahwa apa yang ditunjukkan Hegel dan filsuf-filsuf pendahulunya kurang bahkan tidak menyentuh praxis sehingga tidak bersifat membebasakan. Filsafat jadi ideologis dan kehilangan daya kritisnya yang kongkret. Hal ini jelas-jelas tampil dalam filsafat Hegel yang mengklaim dirinya sempurna namun jauh dari kenyataan sosial. Menghilangkan sifat ideologis dari filsafat merupakan usaha yang dilakukan oleh Marx. Ia mencoba meningkatkan keberdayaan filsafat pada saat bersentuhan dengan masalah-masalah praktis. Di sinilah sifat kritis dan emansipatif dari Marx, meskipun pada masa tuanya Marx juga menampilkan keortodoksan dirinya yang tercermin di antaranya dalam Das Kapital.

Max Weber


* Max Weber lahir di Erfurt, Jerman 21 April 1864, dan meninggal 14 Juni 1920. Ayahnya birokrat dan menempati posisi yang sangat strategis dalam pemerintahan, mementingkan kekuasaan. Ibunya seorang penganut aliran Calvinist yang taat, utamakan pengabdian. Dua pribadi yang kontras tsb berpengaruh terhadap pribadi Weber.

* Weber dapat doktor dari University of Berlin, jadi ahli hukum dan dosen di universitas tersebut. Weber juga pada masalah ekonomi, sejarah dan sosiologi.

* Weber menjadi salah satu pendiri German Sociological Society (1910), rumahnya jadi tempat diskusi dgn Georg Simmel, Robert Michels dan Georg Lucas.

* Masalah-masalah penting yang dibahas Weber: tindakan sosial, wewenang, birokrasi, agama dan perkembangan kapitalisme.

Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan mengadakan pemahaman interpretative terhadap perilaku social mendapatkan penjelasan mengenai sebab-sebab, perkembangan maupun pengaruhnya.

Perilaku manusia sebagai perilaku social harus mempunyai tujuan tertentu, yang terwujud dengan jelas. Artinya, perilaku itu harus mempunyai arti bagi pihak-pihak yang terlibat, yang kemudian berorientasi terhadap perilaku yang sama pihak lain. Tipe perilaku iseal cara memberikankan tekanan sepihak serta intensifikasi terhadap atau beberapa aspek suatu peristiwa yangv mencerminkan struktur mental yang seragam. Tipe hubungan social terdiri atas:

1. Tipe perjuangan suatu bentuk hubungan social yang menyangkut individu sedemikian rupa sehingga salah satu pihak memaksakan keehendaknya terhadap perlawanan pihak lain.

2. Tipe komunikasi meruapkan hubungan social yang didasarkan pada perasaan subyektif, baik yang bersifat emosional atau tradisional atau kedua-duanya.

3. Tipe agregasi merupakan hubungan social yang didasarkan pada keserasian motivasi rasional atau keseimbangan berbagai kepentingan.

4. Kelompok korporasi merupakan suatu bentuk hubungan social yang berkaitan dengan wewenang yang dilaksanakan pada kegiatan seorang pemimpin dan suatu staf administrasi.

Pemahaman atau vestehen, suatu peilaku yang meungkin mempunyai arti tertentu, terlepas dari apakah seseoarng atau beberapa orang terlibat dengannya, serta memberikan arti tertentu pada perilaku tersebut. Walaupun proses pemahaman bersifat subyektif, naumn seseorang yang terlibat di dalamnya dapat memberikan derajat obyektivitas tertentu yang diperlukan. Ada dua cara untuk mendapatkan pemahaman :

1. Suatu tipe perilaku dapat dipahami artinya secara intelektual, apabila perilaku itu rasional.

2. suatu pemahaman diperoleh dengan mempergu8nakan perasaan bila perilaku itu bersifat irasional.

Batasan negara didasarkan pada wewenang, birokrasi, yurisdiksi atas wilayah tertentu dan monopoli penggunaan kekuatan secara sah.

Kekuasaan merupakana kehendak terhadap pihak lain walaupun hal itu bertentangan dengan kehendaknya. Ia lebih suka menggunakan kata Dominasi diperoleh dengan cara mempengaruhi pihak-pihak lain melalui artikulasi eksplisit kehendak pemegang dominasi dan dengan memaksa agar perintahnya ditaati.

Hubungan penguasa dengan pengikut tergantung pada kepercayaan kedua belah pihak terhadap sahnya wewenang ynag melaksanakan dominasi tersebut.

Wewenang dapat dibedakan atas :

1. Wewenang karismatis yang didasarkan pada magnetisme pribadi pemimpin dan timbul sebagai tanggapan terhadap suatu krisis.

2. Wewenang tradisional yang didasarkan pada kepemimpinan atas dasar kewarisan dan tradisi.

3. Wewenang legal yang didasarkan pada aturan-aturan formal dan patokan keadilan obyektif.

Wewenang karismatik menjadi wewenang tradisional atau legal bila berproses secara berkesinambungan. Namun apabila timbul krisis dalam masyarakat yang bersangkutan, wewenang karismatis akan timbul lagi.

Motivasi diartikan sebagai perangkat arti yang ada bagi individu yang terlibat atau pengamat telah merupakan alas an atau dasar yang cukup bagi perilakunya.

Konsep Perrilaku Sosial

Tidak setiap tipe hubungan antar manusia mempunyai cirri social, namun hanya apabila perilaku indvidu tersebut secara berarti beroarientasi pada perilaku pihak-pihak lain. Misaknya terjadi tabrakan kendaraan dijalan, itu merupakan musibah/peristiwa sendiri. Di lain pihak setiap usaha untuk menghindari tabrakan itui atau akibatnya (pertengkatan), merupakan bentuk perilaku social . Demikianpun dengan meniru perilaku orang lain, itu bukan perilaku social. Ada beberapa bentuk perilaku social:

1. Perilaku rasional dan berorientasi terhadap suatu tujuan. Klasifikasi ini didasarkan pada harapan bahwa obyek-obyek dalam situasi eksternal atau pribadi-pribadi lain akan berperilaku tertentu, dan dengan mempergunakan harapan-harapan seperti kondisi atau sarana demi tercapainya tujuan-tujuan yang telah dipilih secara rasional oleh pribadi-pribadi itu. Tindakan social yang dituntut kalkulasi perhitunga-perhitungan rasional melalui cara-cara tertentu untuk mencapau tujuan. Misalanya perang itu alat untuk mencapai tujuan. Tujuan selalu berdasarkan nilai, karena itu tujuan berisi /knadingan nilai.

2. Perilaku rasional nilai, sebuah tindakan rasional yang dituntun oleh nilai. Bilai itu berdasarkan pada kultura kepercayaan/keyakinan (belief) kalkulasi kalkulasi nilai absolut. Misalnya motiv rasional orang beragama Islam (naik haji) untuk mendapat pahala nanti, walaupun sekarang untuk membiayai pemberangkatan harus dengan suah payah dengan bekerja keras. Pahala itu bias diperoleh dengan cara-cara tertentu misalnya jihat perang suci demi agama walaupun memubuh orang, orang tersebut berpikir nanti bias masuk surga.

3. Tindakan tradisional. Tradisional adalah tindakan yang berdasarkan apa yang sudah berlaku sebagai suatu kebiasaan tanpa ada kesadaran untuk memperbaiki/mempertanyakan atau tidak mau berkalkulasi. Dan mengikuti apa yang sudah ada, karena tindakan itu sudah menguntungkan yang bersangkutan. Tindakan ini lebih bersifat konservatif. Struktur atau tradisonal itu baik atau buruk tidak dipertanyakan.

4. Tindakan afeksi atau emosional yang merupakan hasil konfigurasi khusus dari perasaan pribadi. Misalnya simpati, empatai, cinta

Ø Simpati adalah suatu perasaan yang menghargai/menjunjung tinggi sesuatu. Hal ini melahirkan organisasi-organisasi social. Misalnya saat bencana , muncul beberapa organisasi-organisasi tertentu yang menangani bantuan atau mengkoordinir setelah itu bubar.

Ø Empati, suatu imajinasi yang membayangkan dirinya pada posisi orang lain. Atau menempatkan dirinya pada posisi ornga lain. Misalnya membayangkan dirinya seorang presiden.

Ø Cinta, adalah suatu tindakan yang sulit untuk diukur atau menentukan tindakan rasional.

Pendekatan agama mempengaruhi perilaku seseorang, kerja adalah suatu panggilan, kerja tidak saja pemenuhan kebutuhan tetapi merupakan tugas yang suci yang menjamin dalam dirinya akan keselamatan. Semangat kapitalisme bermula dari pada cinta ketekunan, hemat, perhitungan, rasional dan sanggup menahan diri, sekses hidup yang dihasilkan dari kerja keras bias dianggap sebagai pembenaran bahwa sipemeluk adalah orang yang terpilih.

Ia membagi tipe tindakan sosial:

1. Rasionalitas :

· Rasionalitas instrumental, merupakan tindakan tingkat tinggi dalam menentukan tujuan dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.

· Rasionalitas yang berorientasi nilai : alat-alat merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar sedangkan tujuan sudah ada dalam hubungan dengan nilai akir bagaimana individu mempertinbangkan alat untuk mencapau nilai-nilai itu

2. Non Rasional :

· Tindakan tradisional, seseorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan tapi refleksi yang sadar atau tanpa perencanaan.

· Tindakan afektif: tidakan yang didominasi oleh perasaan atau refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar.

Kelas social adalah semua mereka yang memliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi, hal ini terjadi bila:

· Sejumlah orang memiliki suatu komponen tertentu yang merupakan sumber kesepakatan hidup mereka sejauh

· Komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi, berapa pemilikan benda-benda dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan

· Hal ini terlihat dalam kondisi-kondisi komuditie atau pasar tenaga kerja.

Perbedaan :

1. Kekuasaan adalah kemampuan unuk melakukan kemauan seseorang walaupun mendapat perlawanan.

2. Otoritas adalah hak untuk mempengaruhi karena didukung oleh peraturan dan norma yang mendasari keteraturan social yang terdiri atas tiga tipologi tindakan social:

· Otoritas tradisional : berdasarkan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi jaman dulu. Hal ini terdiri dari:

Ø Gerantokrasi: pengawasan berada ditangan orang tua dalam suatu kelompok.

Ø Patriarkalisme : pengawasan berada dalam satuan kekerabatan dan dipegang seorang individu yang mewakili otoritas warisan.

Ø Patrimonialisme: pengawasan berada dalam satu tangan administrasi.

· Otoritas karismatik: didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pimpinan sebagai seorang pribadi.

· Otoritas legal rasional: didasarkan kepada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal. Otoritas legal rasional ini melahirkan organisasi birokrasi yakni aturan-aturan umum yang ditetapkan secara terus menerus dan secara rutin terhadap hal yang kusus. Cirri-cirinya:

Ø Efisiensi berarti organisasi ini memiliki cara yang sistematis menhubungkan kepentingan individu dan tenaga pendorong.

Ø Adanya pemisahan yang tegas dan sistematis antara apa yang sifatnya pribadi dengan apa yang birokrasi.

Tipe ideal

Tipe ideal: konsep dikonstruksi untuk memahami prinsip dasar fenomena sosial (birokrasi berbeda dengan organisasi keagamaan), dibangun dari realitas sejarah.

Individual ideal types: terkait dengan keadaan sejarah tertentu (misal: kapitalisme modern), dibingkai tempat dan waktu tertentu.

General ideal types: tidak terkait dengan sejarah apapun (misal: konflik dan kompetisi), bisa berlaku kapan saja dan di mana saja.

The essence of a complicated idea system: terkait dengan pemahaman teoritis tentang ide tertentu (misal: Calvinisme).

Ideal types of development: bukan pada struktur tetapi pada proses historis (misal: keberadaan dan perkembangan karisma).

Weber menekankan pada: middle-range historical realities (bukan pada keseluruhan masyarakat), melihat hubungan sebab-akibat.

Tipe ideal birokrasi

Birokrasi: pengorganisasian berdasarkan prinsip-prinsip rasional. Tersusun secara hirarkhis (ada atasan dan bawahan), dikelola atas dasar aturan yang bersifat impersonal, wajib patuh dan ada sangsi.

Setiap bagian (kantor) memiliki kompetensi khusus dan mengerjakan a set of obligations sesuai dengan fungsinya sendiri.

Pengelola atau staf organisasi diangkat atas dasar kemampuan atau kualifikasi tertentu, bukan berdasarkan kriteria ascriptive.

Pengelola atau staf tidak memiliki alat produksi, tetapi mereka boleh memanfaatkannya sesuai dengan jenis pekerjaannya.

Kegiatan administratif, keputusan organisasi dan aturan diformulasikan dan dicatat secara tertulis (terdokumentasi).

Seperti Marx, Weber yakin bahwa sistim organisasi modern bisa menciptakan alinasi, dehumanisasi dan eksploitasi. Keberadaan orang (di lapisan bawah) diabaikan.

Karl Mark

KARL MARX

“bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum,

memiliki tempat berteduh, dan berpakaian,

sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni, dan agama”

Timbulnya agama disebabkan oleh sebuah aspirasi, sebuah cita-cita. Dalam bentuk sebuah aspirasi manusia dalam batinnya mengandung suatu cita-cita kesempurnaan dan kebahagiaan, yakni kebijaksanaan, cinta kasih tanpa pamrih, perasaan keadilan. Agama itu hanya merupakan perwujudan cita-cita itu: “ Illusi religius terdiri dari membuat suatu obyek yang bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya”. Atribut-atribut ilahi merupakan perwujudan dari predikat-predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, melainkan sesuai dengan umat manusia jika dilihat dalam keseluruhannya : Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak demikian Ludwiq Feuerbach dalam bukunya Das Wesen des Christentums (Hakekat Agama Kristen, 1841)[1].

Berawal dari tesis Hegel tentang materi dan pikiran yang menyatakan bahwa hal-hal mental-ide, konsep adalah fundamental bagi dunia, sementara benda-benda materi selalu sekunder; benda-benda itu adalah ungkapan fisik dari roh universal yang dasar, atau ide yang absolut[2].

Marx menentang tesis itu dengan menyatakan bahwa materi adalah yang utama, sementara pikiran-wilayah konsep dan ide yang begitu penting bagi para pemikir-sebenarnya hanya refleksi. Prinsip umum yang fundamental tentang dunia adalah riil, lebih dapat ditemukan dalam kekuatan materi dari pada konsep mental; Secara khusus, prinsip itu mendasari dua thema yang menjadi inti pewrkembangan pemikirannya: (1) keyakinan bahwa realiras ekonomi menentukan perilaku manusia dan (2) sejarah manusia adalah cerita perjuangan kelas, konflik terus menerus di setiap masyarakat antara orang-orang yang memiliki benda (orang kaya) dengan para pekerja (orang miskin). Secara fundamental Marx menyatakan bahwa sejak kemunculan pertama di dunia, makhluk manusia tidak dimotivasi oleh ide-ide besar, tetapi oleh kepentingan materi yang sangat dasar, kebutuhan-kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup. Ini adalah fakta pertama dalam pendangan materialis tentang dunia. Setiap orang membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, yang lain, seperti dorongan seks, menyusul. Reproduksi kemudian membentuk keluarga dan komunitas, yang masih menciptakan kebutuhan dan tuntutan materi yang lain. Semua ini hanya dapat dipenuhi dengan mengambangkan apa yang disebut sebagai suatu cara produksi[3].

Pada tahun 1848 Marx dan Engels menulis buku “communist Manifesto” yang memposisikan material, perjuangan kelas, komunisme, dan revolusi melalui cara kesadaran kolektif. Lebih tegas Marx menulis : Sampai sekarang ini, sejarah semua masyarakat yang ada adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dengan budak, bangsawan dengan rakyat jelata, tuan tanah dengan pengelola tanah, ketua serikat pekerja dengan teman sekerja, singkatnya, antara penindas dengan yang ditindas selalu dalam pertentangan satu sama lain, melakukan pertarungan yang, tiada putusnya, terkadang terbuka, terkadang tersembunyi, suatu pertarungan yang setiap waktu bisa berakhir, baik dalam suatu rekonstitusi masyarakat revolusioner secara bebas, maupun dalam runtuhnya secara umum kelas-kelas yang bersaing.

Marx membagi tahapan perkembangan masyarakat sebagai berikut : Pertama masyarakat tradisional (komunisme primitif) bentuk masyarakat yang paling awal dan sederhana, dimana untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan hidup harus dihasilkan dengan cara berburu dan mengumpulkan makan biji-bijian, dengan memancing, semua orang terlibat dalam aktivitas melalui cara-cara yang berbeda, lambat laun masuk pada suatu pembagian kerja. Manusia belum menetap, hak milik pribadi belum dikenal dan semua usaha untuk memenuhi kebutuhan bersama anggota kelompok atau suku.

Kedua, masyarakat feodal, setelah ada gagasan tentang kepemilikan pribadi diperkenalkan, mereka mulai saling berinteraksi, hanya dengan menukar apa yang mereka buat, yakni menjual produksi kerja mereka. Tak lama kemudian dengan ketrampilan, bakat, kajahatan maupun nasib baik, ada yang mendapatkan harta pribadi yang lebih banyak dan lebih baik, sementara yang lain betul-betul tak dapat apa-apa. Selain itu ketika cara produksi berubah dari berburu dan mengumpulkan bahan makanan ke menanam biji-bijian, mereka yang kebetulan memiliki tanah mendapatkan keuntungan yang besar. Mereka tidak hanya memiliki produksi tetapi juga alat produksi karena yang lain tidak memilikinya, maka pemilik tanah adalah majikan, orang lain menjadi tanggungannya, pembantu, bahkan budak mereka. Pada jaman masyarakat ini terjadi eksploitasi oleh tuan tanah atau pemilik modal.

Ketiga; masyarakat kapitalisme, adalah orang yang memiliki tanah serta harta benda dalam tahap perkembangan kapitalisme modern memperkenalkan suatu cara produksi baru. Dengan memperkenalkan aktivitas komersial dan motif keuntungan dalam skala besar, penghasilan yang besar itu bagi sedikit orang (kaum borjuis) pemilik dan manajer perusahaan. Sementara para pekerja (proletariat) tidak memiliki apa-apa, mereka harus menjual tenaga kerja keseharian mereka kepada para pemilik manajer untuk mendapatkan upah guna sekedar dapat hidup. Keadaan ini diperburuk setelah kaum borjuis menggunakan pabrik (mesin-mesin) untuk memproduksi barang-barang dalam jumlah yang besar yang menggantikan tenaga manusi, yang membawa keuntungan bagi kaum pemiliknya. Untuk memperoleh itu semua kaum proletar harus menemukan jalan revolusi untuk menumbangkan seluruh tatanan social ekonomi yang menindas mereka. Sama halnya dengan masyarakat feodalisme, dimana terjadi eksploitasi oleh pemilik tanah atau pemilik modal terhadap kaum buruh atau proletar. Kapitalisme bukanya membawa masyarakat sejahtera, melainkan terjerumus kedalam feodalisme. Dengan demikian terciptalah krisis dasar manusia pemisahan kelas oleh kekuasaan dan kekayaan dan dengan itu muncul konflik social.

Keempat; masyarakat sosialis, untuk menghapus eksploitasi oleh kaum borjuis, maka diperlukan revolusi social melalui pengorganisasian dan penyadaran buruh untuk bersatu menggulingkan kapitalisme. Penggulingan itu dilakukan melalui pembentukan dictator ploretariat dalam rangka menuju masyarakat sosialis, yaitu suatu masyarakat dimana distribusi sumber-sumber ekonomi diatur sepenuhnya oleh negara.

Kelima, masyarakat komunis modern, system sosialis ini hanya merupakan transisi, karena masih menyembunyikan konflik kepentingan antara penguasa dan rakyat. Negara harus dihapus dengan system komunisnya karena dalam system itu tidak ada lagi kelas (classless society) dan cara produksi berada dibawah semboyan sama rasa dan sama rata, begitupun juga para perempuan sebgai “milik bersama dan hak milik bersama”[4]. Pada saat kaum proletar terbebas dari eksploitasi akan muncul masyarakat komunis modern yang lebih bersifat humanis.

B. POKOK-POKOK PIKIRAN MARX

1. Konsep Alienasi

Hegel membicarakan tentang realitas mutlak sebagai “roh yang absolut” atau “ide yang absolut” apa yang disebut oleh orang beragama dengan “Tuhan”. Yang absolut ini adalah suatu wujut yang terus menerus berjuang untuk lebih mengetahui akan dirinya. Ia menemukan hal itu dengan menuangkan dirinya kedalam bentuk-bentuk dan peristiwa material. Namun karena yang actual tidak pernah sepenuhnya menangkap yang ideal, maka bentuk material selalu tidak memadai atau “alien” asing, bagi roh. Setiap peristiwa yang terjadi dalam dunia material disebut “tesis” roh mengadakan peristiwa, sebaliknya “antitesis” yang mencoba untuk mengoreksinya, maka ketegangan diantara keduanya dipecahkan oleh peristiwa ketiga “sintesis” yang mencampurkan elemen keduanya. Hanya sekedar untuk menjadi tesis baru bagi rangkaian oposisi yang resolusi yang lain.

Semua yang terjadi di dunis muncul dalam bentuk rangkaian pergantian yang besar yang disebut “dialektika” memberi dan mengambil roh dalam alam dan sejarah. Di dalamnya yang absolut mengalienasikan dirinya secara tak memuaskan, dalam suatu bentuk material, lalu merespon yang lain, dan akirnya mengkombinasikan dan mengunggulinya keduanya dengan yang lain. Misalnya, kebudayaan lama di sebut suatu tesis, setelah beberapa waktu menimbulkan suatu kebudayaan baru yang berlawanan sebagai antitesisnya. Lambat laun keduanya lalu bergabung, membuat suatu peradaban baru dan lebih kaya dan tinggi yang disebut dengan sintesis.

Marx menolak idealisme Hegel, tetapi tidak menolak konsep tentang alienasi maupun ide bahwa sejarah berjalan terus, melalui suatu proses konflik. Benda adalah ciptaan manusia; manusia yang bekerja, actual, konkrit, yang menciptakan alienasi, mereka sendiri, dan secara tepat dengan menghubungkan pada yang lain termasuk wilayah ide, benda-benda yang pantas riil dan sumber ketidakbahagiaan manusia yang sebenarnya. Alienasi, adalah mengeluarkan dari dirinya apa yang ada di dalam dirinya dan merupakan esensinya; dan lalu mengangap yang dikeluarkan itu sebagai sesuatu yang berlainan dengan hakekat tersebut, sebagai suatu realitas yang sekaligus bersifat asing dan melawannya.

lienasi manusia memiliki empat bentuk utama: manusia diasingkan dari produ hasil pekerjaannya, kegiatan produksi, sifat sosialnya sendiri, dan rekan-rekannya[5], Pertama, para buruh dalam kapitalisme industri diasingkan dari produksinya yang “ada di luar dirinya, secara mandiri, sebagai sesuatu yang asing bagi dirinya…kehidupan yang diberikan pada obyek yang menentang dirinya sebagai sesuatu yang antagonis”. Produksi bukanlah miliknya namun dimanfaatkan oleh orang asinh sebagai milik pribadinya. Dan semakin banyak yang dihasilkan oleh buruh maka semakin berkurang nila produktivitasnya. Buruh menjadi suatu komoditas yang makin lebih murah sehingga semakin murah pula komoditas yang dia ciptakan. Upah para buruh hanya cukup untuk menopang dirinya dengan apa yang dibutuhkan untuk tetap bekerja.

Kedua, system kapitalis mengasingkan menusia dari aktivitasnya. Aktivitasnya tidak ditentukan oleh kepentingan pribadi atau aktivitasnya, namun merupakan sesuatu yang dikumpulkan untuk tetap hidup. “Pekerjaannya…merupakan buruh paksa”. Hasilnya, menurut Marx, “Buruh hanya merasakan dirinya di luar pekerjaannya, dan dalam pekerjaannya dia merasa di luar dirinya.” Semakin banyak dia bekerja semakin berkuranglah dia. Dia akhirnya hanya merasa tinggal di rumah untuk makan, minum dan berhubungan seksualitas. Persis tabiat binatang.

Ketiga, masyarakat mengasingkan buruh dari kualitas penting manusia. Tidak seperti binatang, menurut Marx, yang memproduksi hanya untuk keperluan sementara, manusia menghasilkan pengetahuan dan budaya (seperti seni, ilmu, teknologi) untuk semua ras manusia. Manusia menjadi makhluk universal untuk tujuan universal. Namun seistem kapitalis mereduksi kepentingannya manusia itu ke dalam tingkat hewan buruh, sebagai suatu alat yang semata-mata untuk memuaskan kebutuhan fisik pribadinya.

Keempat, alienasi adalah “pemisahan manusia dari manusia”. Temannya merupakan seoarng asing yang bersaing dengannya sebagai seorang buruh dan sebagai hasil pekerjaan mereka. Lebih-lebih, keduanya dipisahkan dari “sifat esensial manusia”.

Dalam analisis Marx, proses produksi material manusia berisis tiga komponen atau factor. Pertama kondisi produksi, bahwa kondisi produksi mempengaruhi produksi manusia; iklim yang ada, lokasi fisik geografis masyarakat, pasokan barang mentah, dan populasi total. Kedua adalah kekuatan produksi, yaitu pembagian tipe-tipe kemampuan, peralatan dan teknologi sebagaimana jenis dan ukuran pasokan buruh yang tersedia di amsyarakat. Ketiga hubungan produksi yaitu hubungan hak milik dalam masyarakat, hubungan social sesuai apa yang telah diatur masyarakat tentang kondisi dan kekuatan produksi dan menyalurkan hasil produksi kepada anggota masyarakat.

Jika kita benar-benar ingin memahami alienasi, kita harus melihat betapa pentingnya fakta kerja ekonomi setiap hari bagi setiap orang yang hidup. Kerja adalah aktifitas bebas manusia melawan alam. Kerja harus bersifat karya, kreatif, bervariasi dan memuaskan-suatu ekspresi seluruh kepribadian. Dalam kenyataan telah menjadi sesuatu yang terpisah, sesuatu yang asing bagi diri kita, sebagian karena gagasan yang jahat tentang kepemilikan pribadi. Alienasi dimulai setelah manusia menganggap produksi dan kerja sebagai suatu benda yang terlepas, sebagai sesuatu yang lain dari pada ungkapan dasar kepribadian demi kepentingan sebuah komunitas, sejak saat itu, manusia teralienasi dari benda produksinya. Hasil produksi yang dapat manusia jual dan orang lain dapat membelinya. Manusia juga teralienasi dari dirinya sendiri, bukannya mengungkapkan bakatnya yang unnik, manusia membuat suatu produk hanya membuat suatu komuditas, sesuatu yang dapat ia gunakan untuk barter atau membeli komuditas. Hanya berurusan dengan suatu produksi, manusia tak memiliki sesuatu yang penuh arti menusiawi untuk mewujutkan kerjanya. Dan akhirnya manusia teralienasi dari individu yang lain karena kepribadianya, hal yang pada dasarnya menuai berkenaan denganya tidak lagi mengikutsertakan kepunyaan yang lain. Manusia hanya memperdagangkan benda yang mereka ciptakan. Dalam bentuk alienasi yang banyak ini, manusia menemukan penderitaan riil dari kondisi manusia. Dan hanya setelah hal itu diatasi, maka kebahagiaan manusia yang riil pada akhirnya dapat diperoleh kembali.

2. Konsep Eksploitasi dan Nilai Lebih

Konsep nilai lebih, menjelaskan keuntungan kaum kapitalis dan eksploitasi buruh. Marx mendefinisikan nilai lebih sebagai perbedaan antara nilai upah yang diterima buruh dan nilai dari apa yang mereka hasilkan. Artinya, perbedaan antara upah yang harus dibayar kaum kepitalis kepada buruh dan produksi hasil kerja kaum buruh yang bisa dijual kaum kapitalis untuk keuntungan kaum kapitalis.

Teori ekploitasi, kelas buruh dipaksa diperdagangkan di pasar tenaga kerja untuk nilai upah yang berlaku; kaum kapitalis mengeksploitasi buruh dengan menjual produk yang dihasilkan buruh dan bayaran yang diterimanya melebihi upah yang dibayarkannya pada buruh. Kapitalisme merupkan sebuah system eksploitasi. Kaum kapitalis mengambil keuntungan secara besar-besaran dengan mengupah buruh secara rata-rata. Namun teori eksploitasi Marx dikritik secara serius. Marx dianggap melupakan teori tentang eksploitasi dari persoalan biaya yang dikeluarkan kaum kapitalis untuk menghasilkan komoditas, hubungan antara biaya-biaya tersebut dan biaya buruh, serta upah yang harus dibayarkan pada buruh untuk terus hidup.

Bahwa nilai sesuatu yang dibuat atau ingin aku beli ditentukan oleh kerja yang dibutUhkan. Jika membutuhkan waktu sehari untuk membuat sepasang sepatu dan dua puluh hari untuk membuat sebuah arloji yang berharga, nilai atau harga dari arloji itu akan menjadi dua puluh kali harga sepatu. Seorang pembuat sepatu yang ingin membeli arloji, setidaknya harus membuat dua puluh pasang sepatu untuk membeli atau ditukar dengan arloji.

Pemilik modal hanya mementingkan keuntungan. Sementara para pekerja harus menghasilkan barang yang cukup bernilai untuk mendapatkan gaji guna membiayai keluarga. Mesin modern mereka gunakan untuk memproduksi sesuatu dalam waktu yang singkat. Setiap pekerjaan ini menyumbangkan sejumlah besar nilai lebih (surplus value) kepada pemilik pabrik yang kapitalis. Setelah bekerja dalam waktu yang singkat untuk mendapatkan gaji mereka, para pekerja ini terus bekerja selama waktu yang ditentukan, nilai lebih itu diambil langsung dari mereka dan dijual untuk kepentingan pemilik pabrik. Contohnya: Seseorang untuk membiayai kehidupan keluarganya membutuhkan upah Rp 50.000,- dan harus bekerja selama 8 jam perhari untuk dapat memproduksi sepatu satu pasang. Dengan adanya mesin untuk menyelesaikan sepasang sepatu hanya membutuhkan waktu dua jam. Sehingga seseorang dalam sehari dapat menyelesaikan 4 pasang sepatu. Disini seseorang dalam sehari sudah bekerja lebih 6 jam. Jika dihitung gaji perjam 50.000 : 8 jam= Rp 6.250 per jam. Karena kerja lebih 6 jam sehari, maka seseorang harus mendapat upah seharusnya Rp 50.000 + (6 x Rp 6.250) = Rp 87.500 per hari. Kenyaanya jam kerja lebih itu tidak diperhitungkan kepada pekerja, malah untuk keuntungan pemilik modal.

Kenyataanya jam kerja lebih itu tidak diperhitungkan kepada pekerja, malah untuk keuntungan pemilik modal. Dengan uang surplus tersebut ia mengembangkan usahanya dengan membuka pabrik-pabrik baru dengan menggunakan masin-mesin yang lebih canggih. Sehingga tenaga kerja semakin tidak digunakan dan kehidupannya semakin suram.

Dorongan produksi yang besar dari pekerja, akibatnya menimbulkan dilema baru. Produksi kapital yang berlebihan. Para pekerja dan mesin menghasilkan produksi lebih banyak dari yang dapat dijual. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini para pemilik menempuh jalan mengurangi produksi dengan demikian mengakibatkan periode krisis ekonomi yang ditandai dengan pemberhentian sementara, menurunnya bisnis dan jumlah pengangguran yang banyak.

Dalam kalangan kehidupan ekonomi menjadi landasan konflik social dan akirnya membawa kapitalisme pada kehancuran sendiri. Ditengah degradasi dan penderitaan ekonomi para pekerja terdorong untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan akhirnya menentang seluruh kapitalisme dengan berevalusi.

3. Bangunan Bawah dan Atas

Inti sejarah adalah perjuangan kelas, suatu konflik yang dikontrol dari bawah oleh realitas kehidupan ekonomi yang sulit. Marx membedakan bangunan bawah disebut “landasan” base yaitu masyarakat dengan masyarakat bangunan atas “suprastrukture’nya. Hal ini yang menimbulkan pembagian kerja, perjuangan kelas dan alienasi manusia.

Disemua zaman, negara ada untuk mewakili keinginan kelas yang berkuasa, kelompok yang dominan. Maka dalam masyarakat dibangun diatas prinsip kepemilikan pribadi, ia akan mengesahkan hukum yang keras terhadap pencuri, sehingga ibu dari seorang anak yang mati kelaparan dapat dipenjara karena, mencuri sepotong roti, dari seorang kaya. Walaupun ia memiliki cukup untuk menghidupkan orang banyak.

Pada zaman yang lalu, para pemimpin, teolog, filsuf dan guru moral membantu mengontrol orang miskin dengan mengajar tentang baik dan yang buruk. Pada abat pertengahan ketika pertanian adalah alat produksi utama, semua tanah dimiliki oleh tuan tanah feudal yang mempertahankan milik mereka dengan tentara, budak dan pengolah tanah. Dalam abad pertengahan para filsuf mengajarkan bahwa moral adalah kebenaran yang abadi, bahwa moral itu termasuk dalam tatanan sifat-sifat yang tetap, ketika moral itu ditentukan oleh realitas ekonomi di suatu masa dan tempat tertentu.

Di Inggris pada abad 17 kapitalismelah yang mendorong kelas menengah menentang kekuasaan politik raja yang mapan. Kapitalismelah yang mendorong kelas baru. Protentantisme yang lebih sesuai dengan kepentingan dalam perdagangan, investasi dan usaha individual. Di Prancis 1789, kelas menengah (kaum borjuis kota) yang muncul dari professional dan birokrat yang merencanakan penumbangan raja dan memimpin penyerangan terhadap gereja atas nama hak asasi manusia. Dalam setiap kasus, bangunan atas yang berupa politik dan agama sebenarnya dikontrol oleh landasan ekonomi dan dinamika perang kelas.

C. KRITIK TERHADAP AGAMA

Marx tidak mencurahkan perhatian yang khusus kepada kritik agama, itu disebabkan karena bagi materialisme histories, agama hanya menyatakan keadaan radikal manusia yang menjadi korban sebuah ekonomi. Maka agama akan lenyap begitu saja segera setelah keadaan itu berakir.

Kritik Marxis tentang gagasan Allah serta agama sebenarnya terdiri dari penunjukan apa yang secara konkret menjadi sarat-sarat timbulnya gagasan itu serta akibat-akibat yang merugikan. Agama-agama dan gagasan Allah disini hanya dipandang sebagai fenomena-fenomena dan fakta-fakta yang perlu ditentukan sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Sebab karena marxisme itu suatu materialisme dialektis dan histories[6].

Materialiame dialektika:Pada hakekatnya berada dibawah pengaruh suatu ketegangan intern yang tidak henti-hentinya melompat dari satu keadaan ke keadaan lain yang berlawanan, kemudian ke suatu sintesis yang menagtur pada sebuah tingkat lebih tinggi , sampai sintesa itu harus pada gilirannya untuk mkencapai tingkat yang lebih tinggi pula, dan tampa pernah dapat menemukan keseimbangan yang difinitif. Oleh karena itu hidup adalah lebih dari hanya suatu kegiatan fisiko-kimia saja, kesadaran adalah lebih tinggi dari hanya suatu kegiatan biologis. Keadaan-keadaan yang bertingkat tinggi khususnya mereka yang berhubungan dengan timbulnya kesadaran, merupakan suprastruktur-suprastruktur yang sampai titik tertentu memiliki suatu otonomi dari infrastruktur-infrastruktur dan mampu mempengaruhi mereka. Kondisi material yang paling menentukan. Hegel menegaskan, hidup adalah lebih dari hanya suatu kegiatan fisiko-kimia saja; kesadaran adalah lebih dari hanya suatu kegiatan biologis. Keadaan-keadaan yang bertingkat tinggi dan khususnya mereka yang berhubungan dengan timbulnya kesadaran merupakan suprastruktur-suprastruktur, yang sampai titik tertentu, yang kurang didefinisikan oleh para marxis, memiliki suatu otonomi dari infrasturktur-infrastruktur dan mampu mempengaruhi mereka, tanpa pernah dapat menghindar secara definitive dari determinisme mereka.

Materialisme historis; sejarah sebagaimana seluruh proses terjadinya suprastruktur itu telah disaratkan dan ditentukan oleh fenomena-fenomena dasar yakni yang langsung berhubungan dengan kegiatan-kegiatan paling material yaitu, fenomena-fenomena ekonomi. Manusialah yang pada hakekatnya menciptakan dirinya sendiri dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupannya, maka adalah variasi-variasi cara, alat-alat serta hubungan-hubungan produksi yang secara radikal menjelaskan perubahan-perubahan social, politik dan kultur. Maka fenomena-fenomena agamapun hanya merupakan pantulan dari perubahan ekonomi.

Sumber sejati gagasan Allah, jika manusia merasakan kebutuhan untuk mengendalikan suatu hakikat yang menjadi pegangan dan yang mengisi kekurangannya, itu disebabkan karena ia tidak menemukan dalam dirinya realitasnya yang penuh rasionalitasnya yang sejati, Ia sadar bahwa arti tertentu membiarkan sebagian dari hakikatnya diluar dirinya. Marxisme berpretensi untuk menerangkan kesadaran ini dengan faktor ekonomi telah menimbulkan pembagian dan pertentangan kelas. Penduduk kota dan para petani, yang memerintah dan yang diperintah, pekerja intelektual dan kaum pekerja kasar, kaum borjuis dan kaum proletar, yang masing-masing membiarkan diluar mereka segala kekayaan manusiawi yang dimilki oleh golongan antagonisnya.

Demikian manusia merasa dirinya terpecah. Kodratnya untuk sebagaian telah menjadi asing bagi dirinya sendiri. Ia telah terasing. Gagasan tentang Allah adalah suatu proyeksi mistis dan pengasingan yang mewujudkan kesengsaraan kelas yang tertindas, yang merupakan alat kelas yang berkuasa untuk melangsungkan dominasinya. Agama adalah kesadaran dan perasaan diri bagi manusia ketika ia belum berhasil menemukan dirinya ketika ia sudah kehilangan dirinya. Namun manusia itu bukan suatu makhluk abstrak yang “bercokol” di luar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat. Negara masyarakat itu mengahasilkan agama, yang merupakan suatu kesadaran terhadap dunia yang tidak masuk akal, sebab negara, masyarakat itu merupakan suatu dunia yang tak masuk akal. Agama adalah teori umum, tentang dunia itu (..). Ia adalah realisasi fantastis sejati (…). Kesengsaraan religius, di satu pihak adalah pernyataan dari pada kesengsaraan nyata, dan dilain pihak, suatu protes terhadap kesengsaraan nyata itu. Agama adalah keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak berkalbu, sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh. Agama adalah candu rakyat[7]. Agama bukan saja sia-sia, tetapi juga merugikan. Ia merampas merampas kodrat dan martabat manusia dan mengalihkannya kepada suatu makhluk khayalan. Ia merendahkan derajadnya dengan memberikan perasaan dosa padanya, dengan mengajarkan kerendahan hati padanya, dengan membuatnya hina di hadapan dirinya sendiri, dengan menggambarkan sebagai bejat hasrat-hasratnya yang paling wajar dan tak berslah. Lebih merugikan lagi dengan menawarkan kepada manusia suatu hiburan palsu, dengan membuainya denga suatu harapan sia-sia, ia membelokkannya dari usaha dan perjuangan untuk memperoleh benda-benda nyata, untuk mencapai pembebasan efentif, ia “memistifikasikannya”, makna diri itu “penghapusan agama sebagai kebahagiaan palsu, itulah yang merupakan kebahagiaan sejatinya, itulah tuntutan untuk menolak suatu keadaan yang membutuhkan ilusi-ilusi. Maka kritik terhadap agama pada asasnya adalah kritik terhadap “lembah air mata”, yang mahkotanya adalah agama” [8]:

Agama adalah ilusi semata. Agama ditentukan oleh ekonomi sehingga tidak ada gunanya untuk mempertimbangkan setiap doktrin atau kepercayaannya demi manfaatnya sendiri. Para teolog Kristen memperhatikan setiap sifat personal yang paling dikagumi idea-idea seperti kebaikan, keindahan. Keadaan sebenarnya, hikmat, cinta, ketabahan dan kuatnya karakter lalu mencopoti sifat-sifat itu dari manusia dan memproyeksikannya ke langit, dimana mereka sembah dan dalam bentuk yang terpisah dari diri manusia (supranatural) tuhan. Jadi konsep rasional dan kebebasan hanya menggambarkan cirri-ciri dari kehidupan manusia itu sendiri yang dasar.

Gagasan tentang Allah serta agama sebenarnya terdiri dari penunjukan apa yang secara konkrit menjadi sarat-sarat timbulnya gagasan itu serta akibat-akibatnya yang merugikan. Agama-agama dan gagasan Allah disini hanya dipandang sebagai fenomena-fenomena fakta-fakta yang perlu di tentukan sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Engel menyatakan “ manusia sendirilah yang membuat sejarah ; tetapi di dalam sebuah lingkungan tertentu yang merupakan prasarat bagi sejarah itu, atas dasar kondisi-kondisi ekonomis nyata yang sudah ada sebelumnya; dan di antara kondisi-kondisi itu maka kondisi-kondisi ekonomi, biarpun mungkin dipengaruhi oleh kondisi-kondisi politis dan idiologis, dalam instansi terakhir toh merupakan kondisi-kondisi yang menentukan[9]

Seseorang yang mencari seorang manusia super di dalam realitas langit yang fantastic, disana tidak menemukan apa-apa, kecuali refleksi dari dirinya sendiri. Dasar dari kritisisme yang irreligius adalah manusia membuat agama tetapi agama tidak membuat manusi.

Agama mengambil sifat-sifat ideal moral dari kehidupan manusia yang dasar, dan secara tidak wajar memberikannya pada suatu wujud asing dan khayal yang disebut tuhan. Agama merampas kebaikan individu manusia dan memberikan kepada tuhan.

Ekonomi kapitalis menformulasikan ke obyek yang material sesuatu yang dapat dibeli, dijual dan dimiliki oleh orang lain. Kerja sekedar sebagai suatu komuditas kepada tangan orang kaya yang dapat membelinya. Alienasi dalam agama sebenarnya hanya merupakan ekspresi dari ketidak bahagiaan yang lebih dasar yang selalu bersifat ekonomi.

Mengapa agama sampai eksis?, karena agama lebih memperhatikan kebutuhan manusia yang terealienasi. Marx menulis[10] “ penderitaan agama pada saat yang sama merupakan ekspresi penderitaan ekonomi yang riil dan protes melawan penderitaan yang riil. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berhati, sebagaimana ia adalah roh dari suatu keadaan yang beroh. Ia adalah opium bagi masyarakat. Penghapusan agama karena dianggap kebahagiaan yang ilusi dari orang menjadi syarat bagi, kebahagiaannya yang riil. Tuntutan untuk meninggalkan ilusi menganai keadaannya merupakan tuntutan untuk meninggalkan suatu kondisi yang membutuhkan ilusi.

Agama ibarat narkotik yang menghilangkan rasa sakit yang diderita orang yang dieksploitasi dan mengenai dunia supranatural dimana segala kesedihan berakir, semua penderitaan menghilangkan. Agama menghilangkan pandangan kepada tuhan, padahal seharusnya diarahkan kepada ketidakadilan keadaan fisik dan materi,mereka. Agama sebagai tempat pelarian kaum tertindas.

Bagi kaum tertindas dan kaum yang beruntung agama menawarkan sesuatu yang jauh lebih baik. Agama menyediakan ideology, system nilai, yang memperingatkan orang miskin bahwa semua aturan social harus berada tepat sebagaimana adanya. Disini tuhan menghendaki orang kaya menjadi pemilik dan orang miskin menjadi pekerja, tetap berada ditempatnyaMarx menegaskan “ prinsip social dari agama Kristen bahwa semua perbuatan jahat dari para penindas, terhadap orang-orang yang tertindas adalah merupakan hukuman yang adil terhadap dosa asal dan dosa-dosa yang lain ataupun percobaan yang dijatuhkan Tuhan Yesus di dalam hikmah-Nya yang terbatas kepada orang-orang yang ditebus. Prinsip social ini mengajarkan perasaan pengecut, penghinaan diri, kerendahan diri, ketundukan, kepatahan hati. Percaya kepada tuhan dan keselamatan di surga adalah hanya ilusi yang melumpuhkan dan memenjarakan. Ia melumpuhkan para pekerja untuk melakukan revolusi dengan dunia / menerima apa adanya.

Pendekatan Marx terhadap agama yang menarik bukanlah isi kepercayaan agama, bukan pula apa yang sebenarnya dikatakan benar oleh orang tentang tuhan, surga dan bibel, semua tilisan suci atau wujud ilahi, tetapi peran kepercayaan ini dalam perjuangan social. Kita hanya menentukan fungsinya, menemukan apa yang dikatakan kepercayaan agama pada orang baik secara social, psikologis maupun keduanya. Realitas adalah materi perjuangan kelas dan alienasi. Karena beban ini merupakan realitas dibalik ilusi kepercayaan kita paling-paling hanya dapat menjelaskan agama ketika kita mereduksinya kedalam kekuatan kehidupan ekonomi yang telah menciptakannya.



[1] Louis Leahy, Aliran-Aliran Besar Ateisme Tinjauan Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 90.

[2] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, Qalam, Yogyakarta, 2001, hal. 211.

[3] Ibid, hal.216

[4] T.Z. Lavine, Konflik Kelas Dan Orang Yang Terasing, Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. 17.

[5] Ibid, hal.12-14.

[6] Louis Leahy, Op.cit, hal 96-97

[7] Louis Leahy, Op.Cit, hal 98.

[8] Louis Leahy, Op. Cit, hal 99.

[9] Louis Leahy, Op.Cit, hal. 96.

[10] Daniel L. Pals, Op.Cit, hal 237